Narasi curang yang dilontarkan pihak yang kalah dalam pilpres 2024 kali ini terasa sangat di luar nalar. Betapa tidak, kecurangan yang dianggap TSM (terstruktur, sistematis dan massif) dihadapkan pada kenyataan: ada 3 paslon dengan jarak perbedaan suara yang begitu tajam. Paslon 02 hampir 60% sementara sisanya dibagi tak berbeda nyata oleh 01:Anies dan 03:Ganjar.

Anies mewakili kelompok islam militan perkotaan dan Ganjar diwakili kelompok sekuler ndeso. Keduanya didominasi kalangan tua yang kemungkinan dulunya dibesarkan oleh elit-elit lama dan gagap pada perubahan yang terjadi di sekelilingnya. Mereka memainkan media sosial di lapak-lapak kuno facebook. Mereka pelihara pikiran sempitnya dengan men-advokasi berjama’ah di whatsapp group yang dijaga dengan admin otoriter seolah-olah punya kekuasaan di dunia nyata. Masturbasi massal selalu terjadi di kalangan ekstrim, mau kiri atau kanan.

Kelompok tua ketinggalan zaman ini digambarkan dengan persis oleh Budiman Sudjatmiko (Gen-X) yang juga aktivis 98 sebagai “kapal-kapal uap yang besar, lamban dan kuno”. Sulit memahami kecanggihan modern dan situasi geopolitik, dan merasa dominan dan mayoritas karena gaung dan gema berisiknya suara mereka memantul di kolam yang sama (eco-chambers).

Kepemimpinan Islami menurut Anies-er adalah mampu membaca lafadz arabic dan bisa menjadi imam di masjid. Padahal begitu banyak orang yang terbiasa jadi imam sholat di langgar-musholla dan surau tak menjadikan mereka punya kapasitas memimpin negeri ini. Begitu juga gimmick seolah-olah “kuat dan cerdas” dengan jaket desain pilot ala Top Gun tidak menjadikan Ganjar seseorang yang logic dan academic ketika menjawab pertanyaan wartawan: “Mengapa suaranya jeblok, sementara PDIP tinggi”. Muka poker face Ganjar tak bisa disembunyikan, walau lisannya berkata lain.

Baik Anies dan Ganjar sama-sama dipilih kalangan orang-orang tua yang malas belajar, gampang baper dan merasa ter-zalimi dan tidak mau membuka mata nurani-nya karena menganggap diri merekalah yang ber-hak dan paling capable menguasai nurani. Tipe-tipe narasi yang dilontarkan kedua kubu adalah: “Kami suci, kalian najis”, “Kami malaikat, kalian bangsat!”

Ini tergambar karena kedua capres tsb kerapkali melontarkan cacian, hinaan pada paslon 02 dengan mimik najis dan menyebalkan. Anies dan Ganjar cuma aktor politik lemah yang dibesarkan “omon-omon” dan citra. Karya mereka apa? seabreg penghargaan? oalaah.. kayak kita anak kecil aja di permainan ini, kalian bisa dapat selemari piala asal harganya cocok! cek tuh, bagaimana Emirsyah Satar dapat sebareg penghargaan padahal kinerja memimpin Garuda begitu jebloknya.

Memang sulit untuk membedakan keunggulan komparatif dan kompetitif melawan Prabowo Gibran dibanding keduanya. Prabowo Gibran hampir unggul di semua debat ataupun perilaku politik. Gibran misalnya, faham punya kelemahan dalam “Keputusan MK” ia tidak mencari-cari kelemahan moral perilaku lompatan katak Anies Baswedan yang selalu mencari cara agar dirinya eksis di segala medan tempur politik yang mengangkat namanya, atau Ganjar yang sebenarnya tak punya prestasi signifikan malah problem-problem leadership saat memimpin Jawa Tengah. Keduanya bermasalah secara integritas karena pernah dipanggil oleh KPK karena terduga “bermain” dalam kasus-kasus koruptif.

Karena terjepit oleh suara yang minim, keduanya malah mengkonsolidasikan kekuatan kampus, intelektual rasa aktor dan TNI ke ranah politik praktis, sehingga menimbulkan kegaduhan-kegaduhan tak perlu dalam kontestasi tertinggi di negeri ini. Ganjar dan Anies bukanlah tokoh ideal yang bisa ditarungkan dengan Prabowo Gibran baik dari bibit bebet dan bobot. Mereka hanyalah makhluk politik yang dihasilkan oleh noise media sosial, tak lebih.

Saatnya elemen kebangsaan yang meng-endorse dua aktor ini untuk segera sadar, dan membelokkan biduk politik ke arah nalar akal sehat dan merah putih. Garuda telah menunggu kerja nyata kita dan segera mendeklarasikan diri bahwa secara de facto rakyat tak melihat kelompok 01 dan 03 sebagai kelompok suci murni dan terbebas dari kebohongan kemunafikan atau sifat hasad dan dengki. Bukti suara yang njomplang ini membuktikan bahwa rakyat mayoritas di negeri ini punya nalar dan cara berpikirnya sendiri.

Cinta itu natural, sementara kebencian musti diajarkan.

Rakyat adalah bayi-bayi republik yang punya jalur berfikir murni, ia tak sebodoh yang kalian persangkaan. Seabreg narasi dan kebisingan argumen di media, bisa mereka deteksi hanya dengan membuka mata batin diri mereka sendiri. Mereka faham, mereka bukan di puncak piramida seperti kalian, bahkan beberapa musti bersabung nyawa hanya untuk mendapatkan rupiah, sementara kalian kalau kalah pun mimik muka gampang berubah demi suaka.

msr | Ahad, 18/2/2024