Kontestasi Politik 2024 melahirkan keunikan-keunikan dibanding kontestasi pemilu pada periode-periode sebelumnya. Setiap parpol musti menghitung betul jumlah kursi atau suaranya agar memenuhi electoral treshold hak mencalokan kursi presiden/wakil presiden. Faktor tiket 20%  dari kursi yang ada (minimal 115 kursi) atau 25% dari jumlah suara benar-benar membuat seleksi kepemimpinan RI-1 dan RI-2 ini berjalan sangat ketat dan alot.

Dibanding para pengamat yang menganggap faktor tiket ini hanya menguntungkan segelintir partai-partai besar saja, saya justru menganggap bahwa ini adalah salah satu jalan keluar seleksi sistem partai yang sehat, lebih organize dan memaksa jumlah partai semakin mengecil di tengah longgarnya kebebasan berserikat yang diberikan negara kepada partai-partai baru. Partai yang lolos treshold diganjar Rp 1000,- per suara sehingga negara harus merogoh kocek ratusan milyar untuk pemilu kali ini. Bahkan Mendagri Tito Karnavian bermaksud melipatgandakannya menjadi Rp 3000,- per suara sehingga membutuhkan setidaknya 252 milyar untuk 9 parpol yang masuk DPR. Saat ini PDIP menjadi parpol yang paling banyak mendapatkan dana ini, total 27,5 milyard.

Jika di jaman Pak Harto, kita dipaksa untuk memilih 3 parpol saja dan itu pun dengan keengganan menyebutkan Golkar sebagai mesin negara non-partai. Hipokritisme yang akhirnya menggiring kita pada krisis 98.

Patut disyukuri pemilu pasca Reformasi menghasilkan banyak kejutan-kejutan dan hiburan demokrasi. Kita disuguhi “pertarungan” pencitraan, kata-kata dewa, suguhan elit yang sedikit melupakan penderitaan-penderitaan di lapangan. Pekerjaan sulit didapat, pasar dan mol sepi, sementara ekuitas menipis di berbagai lini bisnis.

Pemilu layaknya sirkus yang menghibur anak bangsa seperti saya, rasanya rugi jika saya menahan diri untuk ikut terlibat walaupun sebagai rakyat jelata saja.

LIMA TAHUN PERTAMA

Pemilu presiden 2024 ini akan memilih presiden dan wakil presiden di periode pertama, jatah kepemimpinan presiden hanya 2 x 5 tahun. Sudah menjadi kebiasaan di periode pertama, setiap paslon akan memaksimalkan kursi ba-cawapres dengan orang-orang yang punya daya gedor dan electoral yang baik.

Belum lagi “faktor tiket” yang menyebabkan misalnya seorang Gus Muhaimin (Cak Imin) lebih punya value tiket tinimbang Agus Harymurti Yudhoyono (AHY) misalnya. Karena kursi PKB (58 kursi) lebih tinggi dibanding Demokrat (54 kursi). Beliau otomatis lebih diterima oleh Nasdem (59 kursi) sehingga menjadi 117 kursi, lebih dari cukup untuk membentuk koalisi pencapresan. Sementara Demokrat (54 kursi) masih membutuhkan tambahan parpol yang lolos treshold lainnya karena misalnya berkoalisi dengan Nasdem yang hanya mendapat total 113 kursi saja keduanya jika bergabung.

Perolehan kursi DPR pemilu 2019, sumber: TVOneBerkaca pada pemilu pertama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di 2004 yang berpasangan dengan Josoef Kalla (JK) untuk memenangkan kontestasi ketat saat itu karnea berhadapan dengan Megawati – Hasyim Muzadi, Wiranto – Sholahudin Wahid, Amien Rais – Siswono (pilihan saya saat itu), dan Hamzah Haz – Agum Gumelar. Beliau memilih Pak JK karena populer, tokoh Golkar (walaupun resminya Golkar mencalonkan Pak Wiranto).

Tetapi berbeda saat paruh kedua (pemilu 2009), SBY memilih Pak Boediono sebagai cawapresnya setelah mendapatkan survey kepuasan rakyat pada kepemimpinan di periode 5 tahun pertamanya. Sebagai petahana, sepertinya posisi Cawapres tidak terlalu signifikan mengerek suara perolehannya nanti yang saat itu ramai dibicarakan: “Seandainya dipasangkan dengan sendal jepit saja, SBY bakal menang” begitu para pengamat politik berujar.

Begitu pula Joko Widodo di paruh pertama pertarungan politiknya dengan Prabowo Subianto, berpasangan dengan Pak JK dan memenangkan kontestasi ini. Pada fase kedua, beliau memilih Pak Kyai Ma’ruf Amin yang punya basis NU yang kuat serta dipastikan tidak akan mencalonkan sebagai Capres di pemilu 2024, Pak MA ini menggeser calon kuat Pak Machfud MD yang sedikit menjadi drama cukup memalukan untuk beliau.

BACAWAPRES KUAT

Sudah bisa dipastikan pemilu 2024 membutuhkan sosok bacawapres yang mumpuni secara kepemimpinan (pengalaman teritorial atau politik nasional), terkenal (populer di akar rumput) dan punya daya gedor untuk mesin pemenangan.

Maka buat saya Golkar mustinya mencalonkan Ridwan Kamil jika ingin menang daripada Ketum-nya (Pak Airlangga Hartanto) dengan segala hormat. Kontestasi “idol-idol”-an di negeri ini musti membuat semua pihak realistis. Hal ini dilakukan PDIP sebagai pemenang ketika memajukan Jokowi di 2004 lalu dan Ganjar di 2024 sekarang. PDIP benar-benar partai yang cerdas dan banyak belajar dari pengalaman. Mustinya Golkar berkaca banyak dari peristiwa Konvensi Golkar yang elit-elit politik internalnya menjagokan Wiranto karena pada saat itu justru JK yang tidak direkomendasikan yang memenangkan kontestasi saat itu dengan Pak SBY.

Nasdem “menyingkirkan” AHY bukan soal personal, tapi benar-benar realitas politik yang ada. Pak Surya Paloh benar-benar berani mengambil resiko di awal, untuk mendapatkan result paslon yang maksimal.  Saya tidak melihat Anies Baswedan sebagai petugas partai dan nunut ke SP saja, tapi beliau orang yang memahami betul bahwa untuk menjalakan narasi perubahan, dia butuh kewenangan, dan kewenangan itu jelas-jelas butuh tiket. Datangnya Cak Imin yang sebelumnya sedikit “terluka” karena dibuat ngambang oleh Gerindra di Koalisi Kebangsaan Indonesia Raya (KKIR, Koalisi Gerindra – PKB) membuat keduanya menjadi bakal calon pertama yang memastikan lanjut pada fase berikutnya: pendaftaran ke KPU.

Prabowo jika ingin memenangkan pertarungan kali ini setelah 4 kali berturut-turut kalah melulu (saya selalu memilih beliau di 2 pemilu terakhir) harus “tega” dan fokus: crystal clear the target pada kemenangan. Lupakan haha-hihi kebanyakan dengan elit PAN atau GOLKAR, langsung pertarungkan secara objektif mana yang lebih layak: Erick Thohir, Airlangga Hartanto atau Ridwan Kamil.

Buat saya, Erick Thohir jauh lebih menjual ketimbang Airlangga dan sedikit seimbang dengan Kang Emil. Emil tidak akan membantu banyak suara Prabowo di Jabar, karena beliau sudah kuat di wilayah ini. Prabowo adalah jawaranya Jabar dan Sumatera Barat. Banyak loyalis beliau di sini. Sebagaimana Anies yang menggaet Cak Imin karena kelemahan di suara Nahdliyin dan Jawa Timur, Prabowo butuh bacawapres yang mengisisi “blind spot” beliau di pemilu nanti. Tinggal komposisi di kementerian saja dibicarakan dengan Golkar dan memastikan narasi kekaryaan ini benar-benar terimplementasi di tim pemenangan, showcase buat Golkar sebagai runner up kursi terbanyak setelah PDIP di pemilu 2019.

Jadi pemilu 2024 jika menghasilkan paslon: Ganjar – Ridwan Kamil, Prabowo – Erick Thohir dan Anies – Muhaimin akan menyajikan tokoh-tokoh politik bermutu yang benar-benar memuaskan dahaga rakyat akan sosok pemimpin kuat, cemerlang sekaligus populer. Pak Jokowi pun akan nyaman lengser keprabon karena terjadi All Jokowi Men. Cetak biru keberlangsungan pembangunan sebagaimana selama ini yang menjadi concern beliau, lebih dapat dibaca ke mana arahnya ke depan.

 

Bersam Tum Maming

 

 

 

 

Muhammad Sirod
Pengusaha, Peminat Kontestasi Kepemimpinan