Framing! itulah kebiasaan masyarakat kita saat ini, bukan hanya kita, tapi juga masyarakat dunia. Konsumsi visual yang dipotong-potong untuk memberikan pesan dan kesan yang menggelitik bahkan sampai kontroversial. Penggalan itu akan menjadi potongan video, meme atau suara yang disulih demi kehebohan semata. Ujung-ujungnya kebencian dan perbincangan yang tidak produktif.

Saat artikel ini ditulis saya menyaksikan via youtube ribuan orang berbaju merah memadati JI Expo Kemayoran dengan dominan warna hitam merah, logo kepala banteng moncong putih dan angka 50th. Ultah PDIP ini tak berjauhan usia dengan HIPMI, sebuah organisasi kepemudaan yang dikhususkan untuk menghasilkan bibit-bibit pengusaha nasionalis.

Undangan yang hadir jajaran  lengkap Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin, para menteri dan pejabat tinggi lainnya. Menunjukkan bagaimana penting dan megah-nya acara ini.  Pembawa acara menyebutkan bahwa pidato politik Prof. Dr (HC) Megawati Soekarnoputri adalah acara puncak dari perhelatan ini. Bu Mega didampingi oleh Prananda Prabowo, kakak Puan Maharani yang digadang-gadang menjadi calon kuat pengganti Bu Mega selain Puan Maharani tentunya.

Prananda yang mendampingi Bu Mega ke atas mimbar dan selalu hadirnya beliau dalam acara-acara penting menguatkan kesan bahwa Bu Mega juga menyiapkan putranya dari suami sebelumnya Kapten Pnb (Anm.) Alm. Surindro Supjarso yang beliau nikahi puluhan tahun silam.

MSP di tengah para pendukung setianya

Kharisma Megawati sebelum memulai pidatonya sangat-sangat kuat, di antaranya dengan suara yang tenang, agak berat dan lantang saat beliau menyeru. Perempuan kuat yang menjadi presiden ke-5 RI ini akan genap berusia 75 tahun 23 Januari ini.  Gaya santai bercanda yang penuh percaya diri, penguasaan panggung dan kontrol audiens yang kuat menyiratkan bahwa Mega bukan hanya menguasai politik di lapangan, tetapi juga cara mengendalikan panggung layaknya ayahnya yang fenomenal.

Benar, soal rasa narsistik dan “ego” selfish memang terasa, tetapi coba bayangkan anda berbicara di depan ribuan orang dengan berbaju merah dan ornamen serba merah-hitam serta logo partai di mana-mana, di depan pendukung yang solid dan terbukti mendapatkan 2x kemenangan pemilu berturut-turut. Menurut hemat saya, pantas-pantas saja seorang Mega menunjukkan kekuasaannya dengan gaya seperti itu.

Sebagai parpol kuat yang basis massa-nya berada di kantong-kantong massa menengah ke bawah, butuh kemampuan komunikasi, bahasa tubuh dan artikulasi kata yang tepat. Tidak semua kaum intelektual kalangan politisi mampu mempresentasikan gaya komunikasi efektif untuk memukau kalangan ini.

Tidak ada kepercayaan berlebihan dalama dirinya, saya melihat justru komunikasi terukur dan normatif layaknya politisi yang malang melintang punya gaya. PDIP tanpa Megawati seperti sayur asam tanpa garam, tanpa asam jawa dan sekaligus gak ada melinjo-nya, benar-benar bukan sayur asam! Kekuatan PDIP ada dalam trah darah biru yang dikelola dengan matang, lewat proses berpuluh tahun sehingga menghasilkan parpol yang modern dengan DNA-nya sendiri.

Memang parpol mana yang tidak menjalankan politik dinasti dan circle-closed berbasis keluarga dan darah? hampir tidak ada, bahkan parpol yang katanya paling bagus kaderisasinya pun jika kita telaah lebih dalam, entitas elitnya justru bergerombol membawa anak, istri, keponakan, atau sekedar saudara jauh untuk “memagari” kekuasaannya.

Sudahlah, kita harus belajar memahami dan mencermati kehebatan Mega memimpin PDIP, dengan gaya kepemimpinannya bertemu dengan kepentingan jaman, PDIP kini menjelma menjadi satu-satunya kekutan politik yang bisa mencalonkan pasangan Capres –  Cawapres hanya dari kekuatan mereka sendiri, tanpa koalisi.

Blessing Megawati menjadi koenci! semua beringsut mendekati beliau demi masa depan karir politik masing-masing. So, gak heran toh?