Tiba-tiba ada mention dari seorang kawan di WhatsApp Group Angkatan 97 IPB, tentang sebuah acara ICMI OrwilSus Bogor. Ah rupanya sebuah bedah buku, sadar bahwa kerjaan di kantor sudah bisa ditinggal, saya meniatkan diri untuk berangkat.

Poster bedah buku di IICC, acara ICMI Orwilsus Bogor

Poster bedah buku di IICC, acara ICMI Orwilsus Bogor

Ada tokoh-tokoh senior IPB yang sangat saya tunggu-tunggu celetukannya langsung, sudah lama saya kenal dengan Pak Rektor Arif Satria sejak beliau menjadi Dekan FEMA, Pak Arief Daryanto sejak beliau jadi Sekjen DPP HA IPB, Prof. Didin S. Damanhuri sejak beliau kerap menulis soal politik pertanian di lembaga perpustakaan IPB, Prof. Asep Saefuddin yang saya bersamai sejak beliau bercanda, berguran di era mailing list atau Dr. Naufal Machfud yang dulu pernah juga sama-sama dicalonkan menjadi CaSekjend HA IPB.

Semuanya adalah pemikir, praktisi dan senior-senior yang gak gampang baper disalahartikan publik, tetap kritis kontributif untuk kemajuan bangsa dalam berbagai perannya.

Saya harus hadir, pikir saya, karena untuk menjaga kesadaran diri, mereka kompas diri saya sampai saat ini.

Prof. Asep Saefuddin, bersama 3 pembedah lainnya sedang membedah buku Senandika

Pembacaan Puisi yang sarat makna:

Buku karangan Dr. Aceng Hidayat yang juga sebagai Ketum OrwilSus ICMI Bogor dan Sekretaris Universitas IPB ini memang sarat pesan dan protes pemikiran. Kegundahan beliau dalam era “Kapitalisme” dunia perguruan tinggi harus beliau terima dengan “perlawanan” tak berarti karena struktur dan kenyataan pasar.

Saya, Tina dan Begin, 97 IPB. Tina yang me-mention Begin memberitahu adanya acara bagus ini

Saya, Tina dan Begin, 97 IPB. Tina yang me-mention Begin memberitahu adanya acara bagus ini

Keindahan protes ini dijewantahkannya dalam corat-coret pemikiran dalam tulisan dan juga aksi perbaikan sebisa mungkin penulis melalui beragam kegiatannya berkontribusi positif pada dunia kampus yang ia berada di dalamnya. Ia protes bukan karena duduk manis di luar sistem, justru ia berteriak tidak nyaman karena menyadari kekurangan-kekurangan yang nurani dan akal sehatnya terganggu.

Daripada memilih mencela dan menghakimi, dia berusaha secara cerdas “memanfaatkan” dan bergumul dengan sistem yang telah berlaku. “Kita tidak hidup di ruang kosong!” begitu penuturan Prof. Didin S. Damanhuri dalam banyak waktu, kita musti sadar diri bahwa sistem perbaikan yang diperjuangkan bukan dalam situasi “cateris paribus”.

Sisi lain menariknya buku ini juga dibahas oleh Direktur PT. BLST, tangan kapitalis-nya IPB. Perusahaan ini adalah perusahaan pengelola aset IPB termasuk mol dan convention centre yang dikelola pihak swasta dan berbagi untung selama puluhan tahun dengan IPB.  Walau namanya Bogor Life & Science Technology, revenue stream BLST sebenarnya tajir karena aset negara yang dikapitalisasi dengan pendekatan bisnis.

Para intelektual termasuk moderator Prof. Arief Daryanto dengan cemerlang berhati-hati dalam memilih diksi komersial menjadi utilisasi adalah hiburan nyata buat saya menyaksikan pagelaran bedah buku ini. Diksi menarik, yang tepat menyasar pikiran adalah bentuk pengayaan kata dan makna buat saya pribadi karena perlahan dan pasti, saya pun kini telah mulai banyak menulis dan mencoba membukukannya.