Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas oleh Badan Gizi Nasional (BGN) ditujukan untuk memastikan setiap keluarga, terutama anak-anak rentan, mendapatkan asupan gizi cukup guna mencegah stunting dan gizi buruk  Sebagai inisiatif pemerintah, MBG menyasar sekolah-sekolah dengan Sentra Pemberdayaan Pangan Gizi (SPPG) yang tersebar luas. Setiap SPPG dirancang melayani lingkup hingga radius 6 km dengan kapasitas sekitar 3.000–3.500 penerima manfaat per hari. Pasokan bahan baku dan tenaga kerja diutamakan dari sumber daya lokal agar program berkelanjutan. Dengan demikian, program ini diharapkan memberi kontribusi signifikan dalam memperbaiki pola konsumsi dan status gizi anak-anak Indonesia.

Sejak diluncurkan pada awal 2025, skala MBG terus diperluas. Per Maret 2025 tercatat sekitar 1.000 SPPG telah beroperasi, menjangkau lebih dari 3 juta siswa setiap harinya. BGN menargetkan menambah jumlah SPPG hingga 5.000 unit menjelang akhir 2025, dengan cakupan penerima manfaat mencapai 82,9 juta orang. Secara bertahap, jumlah penerima MBG dinaikkan: Januari–April melayani ~3 juta anak melalui ~937 SPPG, selanjutnya April–Agustus menjadi 6 juta melalui ~2.000 SPPG, dan Agustus–Desember direncanakan menambah lagi menjadi 15–17,5 juta anak lewat ~5.000 SPPG. Bahkan sejumlah SPPG Polri ikut terlibat, seperti satu SPPG di Jakarta Selatan yang membudidayakan sayuran hidroponik agar pasokan pangan segar dan tahan lama. Setiap harinya, satu SPPG dapat menyiapkan makanan untuk ribuan anak – rata-rata hingga 4.000 porsi per hari.

Meski tersebar di banyak daerah, kasus keracunan terkait MBG sejauh ini sangat jarang. Misalnya pada Januari 2025 terjadi keracunan di SDN Dukuh 03 Sukoharjo (Jawa Tengah) yang melibatkan 40 siswa, dan pada Februari 2025 sekitar 28 siswa di SDN Alaswangi 2 Pandeglang (Banten) mengalami mual dan diare usai menyantap menu MBG. Di Jawa Barat akhir April 2025 dilaporkan ratusan kasus rangkaian keracunan massal: 165 siswa di Cianjur pada 21 April dan 324 siswa di SMPN 35 Kota Bandung pada 29 April mengeluhkan mual-muntah setelah MBG. Kasus di Tasikmalaya pun terdata hingga 400 pelajar (TK–SMP) dengan gejala serupa pada awal Mei. Meski begitu, jumlah korban pada tiap kejadian umumnya puluhan siswa. Jika dibandingkan dengan jutaan anak yang menerima MBG setiap hari, angka kejadian ini masih sangat kecil. Kompas bahkan melaporkan bahwa layanan MBG saat ini telah menjangkau sekitar 3 juta penerima manfaat – artinya hanya sebagian puluhan hingga ratusan siswa yang terdampak dalam setiap kejadian. Semua korban keracunan mendapat perawatan penuh dan mayoritas segera pulih.

Bila dihitung sejak 6 Januri 2025 saat program ini bermula artinya selama 58 hari efektif penyajian makan bergizi gratis di seluruh Indonesia (asumsi sabtu, minggu, libur nasional dan bulan puasa libur), mengcover 3000 anak di 8000 SPPG di seluruh Indonesia maka artinya sudah disajikan 1.392.000.000 (hampir 1,4 milyard!) porsi makan bergizi gratis. Artinya kasus 957 keracunan yang ada merupakan 1 dari 1.454.338 (hampir 1,5 juta kejadian), sangat minim sekali.

Kasus keracunan ini, bila diibaratkan ada 1 helai kertas yang rusak total 1,4 juta helai yang baik dan utuh. Kertas-kertas ini tumpukannya akan mencapai lebih dari 145 meter atau hampir setinggi 1,5 Monas! sungguh perbandingan yang jauh sekali..

Kasus-kasus keracunan yang terjadi umumnya ditelusuri lebih lanjut untuk mencari penyebab. Sebagai contoh, di Sukoharjo Kadinkes setempat menduga penyebabnya adalah ayam goreng yang kurang matang. Setelah menyantap ayam tepung dalam menu MBG, sejumlah siswa mengalami mual dan muntah, dan ternyata pihak SPPG pengolah mengakui ayam tersebut tidak sepenuhnya matang. Di banyak kejadian lain, dugaan celah meliputi prosedur penyimpanan atau pengolahan makanan yang kurang sempurna, kualitas bahan baku yang menurun, atau kondisi penyajian yang tidak higienis. Sebagai contoh, SOP BGN mewajibkan setiap SPPG menyimpan sampel makanan selama 48 jam untuk keperluan pengecekan laboratorium apabila muncul keluhan. Dengan demikian, jika terdeteksi keracunan, petugas kesehatan dan pemerintah daerah dapat segera menguji sampel tersebut untuk menemukan titik permasalahan.

Pemerintah dan BGN responsif menangani insiden-insiden ini sambil memperkuat mitigasi. BGN telah menyelenggarakan pelatihan khusus bagi lebih dari 10.000 relawan SPPG agar memiliki kompetensi tinggi dalam memasak dan menyajikan makanan massal secara aman. Pelatihan tersebut menekankan pentingnya menerapkan standar operasional prosedur (SOP), penguasaan keterampilan memasak dalam jumlah besar, serta etika kebersihan pangan. Kepala BGN mengonfirmasi akan memperketat aspek higienis dan menyegarkan pelatihan penjamah makanan di SPPG setelah maraknya kasus keracunan terakhir ini. Upaya ini diperkuat arahan dari Wakil Menteri Dalam Negeri yang menegaskan bahwa menu MBG harus disajikan secara higienis dan bernutrisi, dengan penanganan tepat waktu serta proses masak sesuai panduan BGN.

Lebih jauh, setiap SPPG menyiapkan anggaran operasional yang mencakup dana mitigasi permasalahan. Ketua BGN Dadan Hindayana menjelaskan bahwa biaya operasional per porsi sekitar Rp1.000–3.000 sudah mengantisipasi kebutuhan tak terduga, termasuk jika harus menggaji sukarelawan tambahan atau menangani insiden ringan. Jika ada murid keracunan, biaya pengobatan mereka dapat ditanggung oleh SPPG terkait dari dana yang sudah disiapkan. Pernyataan resmi menyebutkan bahwa setiap SPPG bertanggung jawab atas keselamatan pangan di wilayahnya, sehingga kepala satuan pelayanan siap menanggung biaya pengobatan korban keracunan.

Secara keseluruhan, komitmen menjaga mutu dan keamanan MBG terus ditingkatkan. Keseriusan pemerintah terlihat dari keterlibatan lintas instansi – mulai dari BKG/BKKBN, Kementerian Kesehatan, hingga otoritas daerah – dalam audit dan pengawasan pelaksanaan MBG. Seorang pejabat setempat misalnya menyampaikan bahwa tim gabungan tengah meneliti seluruh aspek mulai dari bahan baku hingga cara memasak guna memastikan penyebab kejadian dapat terungkap tuntas. Semua langkah ini menunjukkan bahwa meskipun ada beberapa kejadian tidak menguntungkan, BGN justru menjadikannya sebagai evaluasi penting untuk memperkuat standar proses.

Dengan latar keberhasilan program yang telah menjangkau jutaan anak, insiden keracunan MBG tidak menggoyahkan kredibilitas program secara keseluruhan. Sebaliknya, fakta bahwa kasus-kasus tersebut dikaji serius dan ditangani cepat justru menegaskan komitmen BGN terhadap keamanan pangan. Dalam setiap kesempatan, penegasan bahwa MBG adalah program kemanusiaan yang ditujukan mengatasi kekurangan gizi anak-anak selalu didahulukan. Hingga kini, belum ada laporan dampak serius jangka panjang dari kasus-kasus kecil tersebut, sementara berkat program ini puluhan juta anak tiap hari menerima asupan gizi tambahan. Dengan mekanisme perbaikan berkelanjutan dan pengawasan ketat, MBG diharapkan terus menjadi program sukses dalam jangka panjang, mengutamakan keselamatan dan kesehatan anak bangsa.