Pola hidup yang hemat, sederhana sampai hari terakhir: TETAP HEMAT SAMPAI KIAMAT, ini topik krusial bila ingin menjalani hidup sebagai pengusaha, saya kira. Pengusaha adalah seseorang yang mengaplikasikan ilmu manajemen yaitu mengelola sumber daya terbatas untuk hasil yang maksimal. Manajemen itu sendiri merupakan cabang ilmu, ada yang khusus membahas mengelola manusia (SDM), mengelola keuangan (finance), mengelola bahan dan material, data dan informasi (Sistem Informasi Manajemen) atau pasar (marketing).

Manajemen bisa di pelajari karena itu sebuah ilmu dan diterapkan (praktik) sehingga menjadi sebuah keterampilan (skillset) yang berakar pada pola fikir (mindset).  Misalnya ilmu manajemen proyek, itu skillset dan mindset-nya misalnya bagaimana mengerjakan beberapa proyek sekaligus yang jarang dikerjakan orang dengan jumlah tim dan anggaran seminim mungkin, ujung-ujungnya: BERHEMAT.

Mindset yang paling penting dari semua mindset pebisnis adalah menjadi manusia hemat, manusia sederhana.  Sederhana dalam perkataan dan perbuatan, mirip dengan jargon Pramuka yang sering kita lafalkan dulu. Jika anda sekolah tinggi-tinggi jadi Doktor misalnya, memahami satu bidang keilmuan secara mendalam, maka hasilnya anda akan berkata dan beropini lebih sederhana dan lebih berhati-hati, itu ciri dari orang yang mengusai secara mendalam. Dia akan mampu berkata-kata lebih sederhana justru karena dia faham secara kompleks keilmuan yang dia tekuni.

Hemat dalam sikap 

Reaksi kita terhadap sesuatu itu menunjukkan kapasitas atau kekuatan kita. Orang yang cenderung lemah (insecure) cenderung offensive pada orangl lain dan melakukan bullying kepada orang lain. Ini hasil dari pengalaman pribadi xixixi.. dan tentunya hasil membaca artikel-artikel psikologi di internet.

Sikap yang berlebihan misalnya bila sedih, didramatisir, sehingga “boros air mata” dan mental positif. Belum lagi dilanjutkan dengan melakukan tindakan-tindakan yang tidak diperlukan. Kalau kita sudah bisa berhemat dalam berkata-kata dan bersikap maka dalam bisnis pun nantinya kita akan terampil berhemat resources. Contoh misalnya yang saya lakukan dalam manajemen proyek, dengan budget dan modal terbatas tetapi punya jejaring cukup baik, saya tidak merekrut karyawan yang saya gaji per bulan, tetapi saya bayar profesional yang ahli di bidangnya per proyek saja. Atau cukup rekrut 1 orang yang punya jejaring lain, sehingga pimpinan proyek kita delegasikan pada orang tersebut. Tentu hasilnya tidak sesempurna jika kita memiliki tim tetap, tetapi untuk di awal-awal bisnis ini sangat membantu arus kas perusahaan.

Contoh lain dalam mengaplikasikan hemat dalam anggaran atau dana. Mencari pendanaan via bank misalnya, hindari pendanaan dari fasilitas personal banking seperti pinjaman tanpa agunan dan kartu kredit. Walaupun mudah di awal, tetapi itu akan menjerumuskan kita pada “bad debt” atau “utang buruk” yang umumnya berbunga lebih dan penuh dengan “jebakan-jebakan” yang akan memberatkan cash flow perusahaan. Mindset sebagai pengusaha harus dikedepankan, karena bisa jadi kita dapat fasilitas kredit personal tsb karena bank melihat rekam jejak kredit kita sewaktu kita masih bekerja bukan saat menjadi pengusaha. Saya kerap kali menolak fasilitas kredit ini dan lebih memilih fasilitas kredit murah meriah seperti KUR misalnya, walaupun pada akhirnya limit KUR yang 500jt itu pun habis saya gunakan, mengingat fasilitas ini memang dibatasi oleh pemerintah.

Tidak keliru membeli luxury items jika putaran bisnis kita sudah semakin kokoh. Saya pun ingin sekali membeli sepeda motor Royald Enfield GT 650 Paralel Twin seperti di gambar berikut misalnya. Tetapi dengan harga hampir 200 juta, buat saya ini pemborosan karena dengan uang seperti itu, dapat saya gunakan dalam mengkapitalisasi bisnis beberapa bulan ke depan, merekrut karyawan dan tim baru sehingga ujung-ujungnya menghasilkan revenue yang lebih besar.

GT650 Royal Enfield

Dengan pertimbangan yang cukup matang, menginginkan hiburan motoran yang seru dengan budget terbatas akhirnya saya memutuskan untuk membeli motor yang lebih murah, gak tanggung-tanggung murahnya karena hanya 1/6 dari harga motor di atas.

W175 Kang Sirod, dengan modifikasi ringan

W175 Kang Sirod, dengan modifikasi ringan

Alhamdulillah dengan penghematan tersebut saya mendapatkan apa yang saya butuhkan dari sebuah motor: kenyamanan berkendara, gaya, dan 3 komunitas motor tempat saya bernaung yaitu:

  1. HIPPITERS, dikelola teman-teman HIPPI Jakarta Pusat
  2. KWJ: Kawasaki W175 Jakarta, dan
  3. Muslim Biker United (MBU) DKI

HIPPITERS KWJ MBU DKI

Tiga keluarga baru didapat “hanya” bermodalkan 30-an juta saja, cukup hemat menurut ukuran saya. Lucunya lagi dari komunitas tsb saya mendapatkan 1 Purchase Order bernilai 25 jutaan dan satu potential investor yang akan membawa satu lini bisnis saya semakin di depan hehehe..

Perspektif hemat bukan berarti kita harus “mereki” atau “pelit akut” lho. Harus mau sisihkan sebagian rejeki kita yang diberikan Tuhan untuk beasiswa, fund raising, dana sosial atau kegiatan-kegiatan yang sifatnya memperkuat jejaring sosial di sekitar kita. Hukum uang dan kekayaan dari bangsa-bangsa seperti Cina dan Yahudi menyatakan bahwa uang dan kekayaan itu harus mengalir terus, bukan dipendam. Entah mengapa, rejeki kita akan ikut terpacu dengan gelontoran sedekah dan derma yang kita lakukan, ini bukan teori sekedarnya yang diceritakan orang-orang di media sosial, tapi merupakan hukum kekayaan dan kapitalisasi yang Tuhan sudah desain begitu adanya. Hanya saja yang perlu kita cermati, sangat berbeda orang kaya dan orang miskin cara mendistribusikan derma dan kebaikannya. Perhatikan saja.

Hal yang menjadi berat juga adalah perkara image atau citra diri yang cenderung ingin dihargai sehingga kita cenderung menggunakan barang-barang yang tidak kita perlukan untuk mendapat impressi orang-orang di sekitar kita. Pada dosis yang terukur, sebenarnya tidak keliru menggunakan barang-barang branded yang mahal harganya, tetapi mengasosiasikan kesuksesan diri dengan mengelilingi diri kita bukan dengan karya dan pencapaian tapi dengan luxury items seperti itu sebenarnya bentuk dari kekurangpercayaan pada kemampuan diri. Orang kaya menggunakan helikopter, mobil mewah dan fasilitas lux untuk mendapatkan impressi, tetapi mereka selalu detil dalam mengelola hal-hal tersebut, bisa saja fasilitas-fasilitas itu impactful menaikkan bargain mereka ketika bernegosiasi misalnya, atau kita tidak tahu kalau item-item tersebut justru menjadi revenue stream yang dimenej oleh tim tersendiri sehingga membuat dia bertambah kaya.

Imaji sekilas yang akhir-akhir ini tampak ditularkan dengan mudah dengan para “guru kaya” di media sosial seolah-olah melahirkan ilusi bahwa pebisnis harus begini dan tampil begitu untuk mendapatkan panggung dan tepuk tangan. Padahal ketika kita cek di market, bahkan kita tidak tahu apa yang sudah ia perbuat untuk memperbaiki society kita dengan produk dan jasanya. Kita gak faham bagaimana dia bisa “flashy” tampil memukau khalayak, tetapi seolah-olah citra sekilas ini wajib ada untuk menarik orang belajar padanya.