Yang menarik dari menyekolahkan anak di sekolah bermutu itu adalah: orang tuanya ikut disekolahkan!
Benar, saya jadi ketagihan menyekolahkan anak di sekolah-sekolah dan kursus-kursus terbaik, karena saya jadi ikut dididik dan diajari lagi bagaimana menjadi orang tua yang baik dan benar. Pendidikan anak adalah investasi terbaik bagi anak-anak dan kita sendiri ternyata.

Anak saya yang sulung saya titipkan di sebuah boarding school (sekolah yang mensyaratkan siswanya tinggal dalam asrama khusus di lingkungan sekolah). Konsep boarding school-nya adalah pesantren, sebuah metoda pendidikan yang proven melahirkan pemimpin-pemimpin bermutu di negeri ini sejak berabad-abad lalu.

Dalam sebuah pertemuan bersama orang tua, seorang perwakilan asatidz (ustadz/guru) menyampaikan bahwa ada nilai-nilai kepesantrenan yang harus dipupuk terus-menerus dalam pesantren. Konsep pesantren mensyaratkan murid, guru, orang tua dan semua komponen sekolah mengikuti konsep dan cara kepesantrenan, tidak bisa parsial atau setengah-setengah.

Dengan konsep yang menyeluruh itu, para santri kyai akan melahirkan kekuatan maha dahsyat sebagaimana revolusi jihad-nya Kyai Hasyim Asy’ari yang digelorakan oleh Bung Tomo pada kejadian 10 November yang kita kenal itu. Kontribusi nilai-nilai kepesantrenan telah membuat bangsa ini menjadi bangsa yang kokoh, kuat bersendikan keislaman.

KEMANDIRIAN

Santri dididik untuk mampu melayani kebutuhannya sendiri-sendiri, ibda binnafsik (mulai dari diri sendiri). Anak sulung saya di pesantren ini agak mending karena ia ada yang membantu mencuci pakaian kotornya, tidak seperti ayahnya dulu yang di pesantren-nya harus mencuci baju-baju kotornya sendiri. Tapi tetap saja, ia harus lepas dari layanan orang tua yang lain karena ia tinggal di asrama pesantren. Ia harus menyiapkan kebutuhannya sendiri sejak dini.

Jika kita berkarir/bekerja menjadi profesional dan tidak punya sifat mandiri, tentu akan merepotkan majikan dan teman-teman kerja kita, apalagi punya partner bisnis yang tidak mandiri wah tentu merepotkan karena waktu kita habis untuk melayani kebutuhan pribadinya saja. Punya pasangan hidup yang gak mandiri tentu membutuhkan kesabaran ekstra, boro-boro melayani kebutuhan kita, yang ada harus terus-menerus bersabar pada sifatnya yang manja.

Problem kebangsaan kita saat ini sebenarnya, ujung-ujungnya adalah ketidakmandirian. Dimulai dari kekurangpercayadirian di level para pemimpin yang didasari ketidakmandirian. Akhirnya kita menjadi bangsa yang sangat terikat oleh kepentingan bangsa lain, nah daripada pusing memikirkan bangsa yang tentu sangat kompleks dan membutuhkan perubahan peradaban (membutuhkan selang waktu generasi ke generasi) lebih bijak kita memulai dari diri sendiri dan keluarga kita dulu.

UKHUWAH ISLAMIYAH / KESETIAKAWANAN SOSIAL

Mungkin belum banyak dari kita yang pernah merasakan bagaimana makan bersama dalam satu nampan/piring besar (3-4 orang) dalam kondisi perut yang sangat lapar dengan menu seadanya, saya pernah mengalaminya di pesantren. Di tengah situasi jumlah dan ragam makanan yang terbatas, perut lapar, duduk berdekatan dengan santri lain dan musti menikmati hidangan secara bersama-sama dalam satu nampan. Tentu dibutuhkan tepa salira, saling memahami dan bertenggang rasa. Kecepatan mengunyah tentu harus disesuaikan, tangan tidak meraih lauk/hidangan yang jauh dijangkau dan hikmah atau pelajaran berharga lainnya. Sikap ini tidak diajarkan secara teori, tapi dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, setiap makan, pasti akan terpatri dalam sanubari setiap santri yang mengalaminya.

Tak heran santri yang tinggal di pesantren itu sifat ukhuwahnya atau kesetiakawanan-nya akan meningkat walau ada pola pendidikan yang salah di keluarga asalnya. Pelan-pelan kebiasaan buruk dalam keluarga akan “diluruskan” di pesantren. Hal simpel seperti mencium tangan orang tua, tidak diajarkan oleh ayah ibu saya ketika saya keluar rumah atau bepergian, tetapi diajarkan dengan baik oleh pembimbing saya di pesantren. Akhirnya sampai sekarang saya selalu cium tangan ke orang tua ketika saya berkunjung atau akan pergi selepas bersilaturahmi.

KESEDERHANAAN

Nilai selanjutnya adalah kesederhanaan, sederhana dalam berpakaian, sederhana dalam mengkonsumsi makanan, sederhana dalam berpendapat, sederhana dalam bertanya, sederhana dalam ber-cita-cita (gak mengawang-ngawang, tapi bukan berarti tidak punya cita-cita yang tinggi ya). Kalau kita melihat lulusan pesantren dari nilai-nilai kepesantrenan, sebenarnya banyak sekali yang sukses. Sayangnya, ukuran-ukuran sekulerisme sering mengukur standard sukses seseorang.

Orang-orang sukses di masa kini digambarkan dengan flashy atau kilauan barang-barang mewah. Kendaraan mewah, baju branded, gaya hidup mahal dan sebagainya. Ukuran-ukuran seperti ini menempatkan orang yang memiliki nilai-nilai kepesantrenan dianggap sebagai bukan orang sukses.

Tokoh-tokoh pendiri bangsa kita sering diceritakan memiliki pola hidup sederhana, tetapi tidak mengurangi kecemerlangan berfikir dan bertindak mereka dalam menyelesaikan permasalahan bangsa. Mereka sangat minim mengambil untuk dirinya, tetapi sebaliknya sangat royal untuk bangsa ini.

Semoga kita dapat memiliki nilai-nilai baik ini dan menularkannya kepada orang-orang terdekat kita. Biarlah kita tidak disebut sukses oleh orang-orang yang awam pada nilai-nilai ini, toh sukses itu hanya perspektif sekelompok orang. Insyaallah batin kita akan terasa happy dan bangun setiap pagi selalu semangat karena memiliki anak dan istri yang mencintai kita dan ujung-ujungnya membentuk masyarakat yang lebih beradab karena diisi oleh keluarga-keluarga beradab pula.