Pandemi Covid19 telah banyak membuat orang bergerak berirama menolong sesama. Ada yang bagi-bagikan masker, beli APD seperti coveral suit dan faceshield lalu dikumpulkan di pos-pos relawan ada juga yang sibuk di wilayah-wilayah RT/RW meminta sumbangan lalu menyalurkannya kepada yang berhak.

Hal tsb tidaklah aneh, saya sendiri sering menjadi relawan dan ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan donasi. Sejak SMA sudah mengetuk pintu-pintu kelas untuk mengumpulkan infaq setiap hari jum’at. Masuk ke pesantren terbiasa “menjual karcis”, kalender  atau produk-produk yang dimaksudkan sebagai “barang dagangan” bagi donatur.

Ketika saya menjadi pebisnis dan masuk dalam organisasi-organisasi kemasyarakatan, saya lakukan di keummatan tsb berdonasi dengan harta, waktu, tenaga dan fikiran. Ini jauh lebih kompleks karena membutuhkan jam terbang, kerelaan terus-menerus dan kekompakan pada nilai-nilai luhur yang ada dalam organisasi atau komunitas tersebut.

Nah, selama beraktivitas dan berorganisasi terkadang ada sifat “kurang ikhlas” yang hinggap pada diri saya, semoga ini dapat menjadi perspektif buat teman-teman pembaca yang budiman, agar kita bisa menjadi orang yang lebih baik lagi

  1. Berlaga sok kuasa / Jumawa
    Menjadi aktivis terkadang sering berhadapan dengan orang-orang aghniya (mereka yang berpunya/kaya). Namanya orang kaya, umumnya selain mereka dermawan, sudah satu paket dengan gaya mereka yang high-level. Mereka gak menyombongkan diri-pun orang lain bisa saja menyangkanya sedang menyombongkan diri. Lantas terkadang kita sebagai pengumpul harta yang dibagi, suka terlalu merendah dan terkesan menjadi pengemis saat berhadapan dengan mereka.Akibatnya, ketika kita menyalukan bantuan, pengaruh orang-orang kaya tsb hinggap ke diri kita dan kita seolah-olah sudah menjadi kaya karena membawa harta untuk dibagi-bagikan. Hilangnya sifat ini bisa dengan cara meluruskan niat ketika kita akan memulai, selama proses dan di akhir kegiatan. Harus difahami bahwa baik penyumbang atau yang disumbang adalah path/jalur yang harus kita lalui agar sempurna amalan kita.
  2. Merasa paling saleh
    Setiap diri kita mungkin pandai menyembunyikan diri agar tidak terlihat saleh. Tetapi ujian sebenarnya adalah ketika kita sudah berbuat banyak, hati tetap merasa seperti pendosa, kurang amal dan rendah hati pada orang-orang yang amalannya tampak sederhana. Ini butuh latihan keikhlasan, ingatlah Nabi Musa yang punya ummat ribuan harus belajar pada Nabi Khaidir seorang penyendiri dan bertingkah laksana spionase dan menjadi mentor Nabi Musa a.s. atas ilham dan petunjuk dari Tuhannya.
  3. Merendahkan kegiatan / aktivitas lain di luar kelompoknya
    Jangan mentang-mentang seseorang gak berkarya di kelompok kita, lalu kita beranggapan bahwa orang tersebut gak membantu dalam penyelesaian covid19 ini. Siapa tahu amalan dia lebih banyak dan lebih tinggi, tetapi orang ini menjaga diri dari promosi berlebihan. Atau, dia hanya bisa berbuat semampunya di lingkungan keluarga besar-nya yang terkena dampak, sehingga walau ia orang berada, ia lebih fokus merawat dan menjaga keluarganya dulu. Atau bisa jadi dia pengusaha yang banting tulang membangkitkan bisnisnya kembali serta berjuang untuk karyawan-karyawannya karena terkena dampak luar biasa pada semua lini usahanya.Jika dia gak tampak di RT/RW tempat kamu berkegiatan, jangan suudzhan dulu, dan jangan menganggap remeh apa sumbangan yang ia berikan di lingkungan. Biasanya orang-orang begini, gak mau tampil, tapi dia punya impact karena terbiasa menanggung beban orang lain. Cirinya dia tidak gampang menjadi peminta dan pengemis fasilitas pemerintah yang datang ke lingkungan tsb.
  4.  Menggurui
    Sifat Ikhlas yang berat adalah ketika kita sudah beraktivitas banyak, bertemu banyak orang, menyumbang banyak korban, lalu kita memahami jalan dan jalur menjadi relawan yang efektif. Datanglah orang yang ingin membantu, lalu tanpa sadar kita menggurui mereka dengan seenaknya. Padahal, setiap orang yang datang belum tentu tidak faham atau tidak tahu, jadi penting pula menjaga perasaan orang tsb dalam komunitas agar tetap menjadi manusia sebenar-benarnya manusia, bukan anak buah dan murid kita.
  5. Gak mau diatur dalam pakem keorganisasian
    Hal ini sebenarnya adab keummatan yang paling inti. Dalam setiap komunitas, biasanya selalu ada penggebrak dan penggerak. Masalahnya dalam organisasi, inisiatif orang per orang tidaklah menjadi sumber rujukan “asal aktif” dan “asal kongkrit”, adab-adab organisasi dan komunitas tetap harus diperhatikan. Misal, dalam organisasi pengusaha selalu ada Ketum, Sekum dan Bendum, penting menjaga perasaan orang-orang ini dalam berorganisasi sehingga apapun kegiatan hebat kita, pastikan dijaga marwah organisasinya. Muncul ke permukaan dan membuat perubahan itu bagus, tapi tampil songong seolah-olah hebat sendiri namanya tak tahu diri.

    Ikutilah pakem-pakem keorganisasian baik yang tertulis atau tidak, jangan ragu bertanya pada struktur yang lebih tinggi. Sifat gak mau diatur, adalah sifat yang menunjukkan kita tidak layak berjalan beriringan dengan orang lain untuk jangka panjang. Menurut saya, boro-boro untuk membangun ummat, yang begini biasanya gak punya impact pula di lingkungan terkecilnya.

Demikian kiranya sifat-sifat yang menghinggapi diri saya ketika saya menjadi relawan, semoga tidak terjadi pada diri teman-teman sekalian.