Takjub, itu kata yg terlintas pertama kali di benak saya. Gelaran pameran Urban Sneaker Society yang dilakukan entah yang ke berapa kali ini memang membuat mata tak henti-hentinya kagum.
Selera anak muda, movement, ciri khas generasi Z kita, seperti tak pernah mendapatkan kata lelah. Mereka berkespresi, berkreasi bahkan memproduksi menjadi “maker” istilah kekinian di kalangan mereka produk-produk yang mereka pakai sehari-hari.
Berkreasi dengan membuat produk custom, semisal nevertoolavish yang terbiasa memulas dan memoles produk-produk brand terkenal seperti Nike menjadi lebih personal. Agaknya, anak muda faham bahwa produk pabrikan hanya membuat mereka “tampak seperti orang kebanyakan”. Mereka mencoba membuat lini fashion mereka sendiri, tanpa menghindari brand favorit yang mereka gandrungi.
Beberapa lini produk Nike di urusan sepatu olahraga dan gaya hidup santai (sneaker) memang layak dikoleksi. Karena selain dibuat limited, nilainya juga bisa berkali-kali lipat jika ada cerita di balik produk tersebut saat di-launch atau ada semacam “drama” menyertainya.
Ada juga satu lini produk, merk lokal, mereka mengkustomisasi sepatu kets yang mereka produksi sendiri di Tangerang, dari pengrajin-pengrajin yang mereka kelola sendiri. Mereka buat platform, kita dengan bebas memilih bahan, desain dan warna / pattern sepatu kets yang ingin kita beli. Dalam dua minggu, itu sepokat dikirim deh ke rumah kita. Ini benar-benar industri kreatif yang marketnya ternyata besar banget, mereka, anak-anak muda ini dengan idealisme dan keterbatasan yang ada, mencoba mengambil peluang yang ada.
Gak banyak narasi, gak banyak basa-basi, mereka ada di sana. Menantang brand-brand dunia yang sistem bisnisnya canggih seperti Nike misalnya. Pabrikan yang banyak ditentang oleh kaum socialis activist di US sana ini jelas-jelas meninggalkan rekam jejak pengangguran di pabrikan tailor made yang mereka singgahi. Gak usah jauh-jauh, pabrik sepatu milik keluarga Murdaya Po pada tahun 2007 musti merumahkan banyak karyawannya (sekitar 14 ribu karyawannya) karena diputus kontrak begitu saja oleh Nike.
Nike juga, menurut konten kreator tersohor asal Eropa, Andrew Tate merupakan perusahaan yang tidak pernah membayar pajak yang signifikan karena “mengakali” sistem yang berlaku di dua negara tempat mereka mengoperasikan bisnisnya: satu di Belize dan satunya lagi di Eropa. Seluruh penjualan Nike di seluruh dunia masuk ke kocek perusahaan mereka di Eropa, kemudian mereka musti “setor” ke Nike Belize dalam bentuk hutang. Situasi begini menyebabkan pajak yang musti dibayar sangat rendah.
Langkah cerdas begitu bukan hanya dijalankan oleh Nike, sebenarnya korporasi global seperti Microsoft, Apple dll banyak yang memilih Luxemburg misalnya sebagai basis head quarters, dikarenakan kebijakan pajak 0% yang dikenakan oleh negara ini. Mereka hanya mengambil pajak PPH dari setiap karyawan yang bekerja. Dengan kualitas tata kota, utilitas yang bonafide, perusahaan-perusahaan ini hidup nyaman tanpa terkena biaya berarti dibanding mereka mengoperasikan perusahaannya di negara-negara dengan aturan pajak yang ketat.
Anak-anak muda yang datang ke sini tentu tidak berpikir sejauh ini, mereka menikmati brand-brand luar yang ada dan menjadi indentitas visual ketika mereka berkumpul bercengkrama dengan teman-temannya atau menjadi kebanggaan saat mereka posting foto mereka di Instagram/media sosial. Social authority yang mereka dapatkan karena menggunakan merk int’l yang mahal, tentu menjadi nilai tambah bahwa “betapa gaya-nya saya”. Generasi kekinian memang minim literasi, “sombong”-nya mereka ditunjukkan dengan visual, jadi brand yang berharga mahal itu satu nilai lebih buat mereka.
Lupakan bapak-bapak atau Ibu-ibu yang memakai kacamata dengan frame tebal yang bertuliskan LV, Dior atau Cartier, generasi ini tidak senorak itu. Karena mereka kadang mempadu-padankan brand-brand mahal dengan barang lokal, dan di pameran ini hadir pula maker-maker lokal yang kelasnya UMKM sampai pada merk yang sudah mapan seperti Ardilles (pembuat sandal awalnya, kini memproduksi sepatu Kets) dan Export (tas sekolah, awalnya, tapi sekarang memproduksi tas dan compartemen gaul kekinian).
Pameran 2 hari yang harga tiket masuknya 60 ribuan ini cukup menarik untuk didatangi anak-anak usia puber: 15-18 tahun. Di bawah itu sangat tidak nyaman untuk dilepas sendiri karena sesak dan alur pengunjung dibuat pusing ketika kita ingin pulang. Panduan yang minim, kurangnya petugas pemandu dan terlalu sesaknya isi pameran dengan musik hingar-bingar, membuat pameran ini sangat tidak nyaman dikunjungi bareng-bareng keluarga.
Kalau punya anak ABG yang sudah punya pacar, barangkali lebih pas, tinggal dikasih tau bahwa di ruang AC dengan suhu sekitar 16°C sangat tidak nyaman dan gak pas memakai pakaian terbuka seperti di Eropa sana. Selain tentunya beda kultur, tentu bisa membuat mereka masuk angin toh?
Tapi ya sudahlah, toh niat saya hanya ingin menghibur anak istri jalan-jalan ke pameran yang biasanya hanya didominasi oleh grup besar yang itu-itu aja. Event ini sangat segmented, dipenuhi anak-anak muda kreatif dan kita bisa ikut mencium geliat brand tanah air yang menyasar pasar mereka.
Leave A Comment