Sampai saat ini saya belum menemukan alasan ajeg harus masuk partai politik. Mungkin karena saya gak punya uang sebanyak teman-teman saya yang gemar datang ke titik-titik kampanye membagikan sajadah, sembako atau hadiah-hadiah lainnya itu, atau saya tidak sepopuler artis dan selebritis yang saban hari masuk keluar berita gosip.

Social kapital saya juga saya menyadari tidak terlalu tinggi, secara sosok pun saya belum jadi orang dengan karakter politisi betulan. Kadang masih jengah dengan perilaku politisi yang bisa-bisanya menghilangkan objektivitas demi gerbongnya dia sampai sekonyol itu, misalnya. Buat saya, kemerdekaan bersikap adalah kebutuhan primer, mendewa-dewakan atau memberhalakan patron politik itu nomor kesekian.

Kemarin dari sebuah wag saya membaca seorang kawan politisi di satu kabupaten akhirnya memilih mencalonkan diri dari jalur DPD (senator, perwakilan daerah). Rupanya dia bosan juga menjadi “orang tidak bebas”, hidupnya dan arah politiknya diatur-atur partai. “Kerangkeng” partai menjadikannya tidak genuine, padahal kawan saya ini seorang pemberani betulan.

Seorang penasehat orang berkuasa yang menjadi sahabat, mentor sekaligus guru kehidupan saya berujar “Kang Sirod fokus aja di bisnis, terutama perputaran uang swasta. Dulu jaman Pak Harto APBN itu tinggi sekali, dominan, sekarang uang swasta sudah mengalahkan perputaran negara!”. Ah dia benar, dengan sistem administrasi yang semakin baik, mentalitas gratifikasi dan korup, rasa-rasanya kawan-kawan saya di parpol hanya tinggal menghitung hari mereka dicokok oleh petugas, entah kepolisian, kejaksaan atau KPK.

Padahal uang yang beredar di pemerintahaan gak se-dominan dulu lagi. Belum lagi tender berbasis web dan eKatalog mustinya menyadarkan banyak pihak agar fokus menjadi produsen atau setidaknya agen tunggal untuk ikut “bermain” menikmati ceruk pasar Goverment Procurement.

Saya jadi teringat pesan seorang idola pebisnis kawakan yang hadir dalam sebuah talkshow di Jaya Academy: Arwin Rasyid. Beliau pernah menolak tawaran menjadi menteri berkali-kali hanya karena gak mau ribet dan diatur-atur hidupnya. Kini ia saya perhatikan lebih menikmati hidup, punya bisnis kuliner dan menjadi “dewa” di kalangan pengusaha muda. Mau apalagi?

Buat saya hidup hanya sekedar persimpangan, tabungan yang disiapkan bagi hidup saya adalah: ilmu bermanfaat, amal yang diterima, sekaligus mencoba memaksakan diri menjadi anak sholeh agar orang tua saya bisa tersenyum di alam kuburnya sana. Bila saya mati duluan, anak istri saya bisa menjadi generasi yang “kuat” secara mental, keilmuan dan kalau bisa harta yang memadai sehingga mereka bisa lebih tahan dan mudah menjalani kehidupan.

Situasi politik saat ini yang sangat kental dengan pencitraan diri berlebihan dan “olah-olah” kepalsuan, rasa-rasanya tidak cocok untuk kehidupan saya pribadi. Dunia bisnis dan organisasi saja sudah membuat saya pusing, ngapain harus terjun ke politik? apalagi hanya jadi kain belacu, buat menambal aib “berhala-berhala” yang mereka puja dan puji setiap waktu.