Orang awam industri pertanian/pangan menganggap mie instant itu aib. Karena produk yang digemari rakyat ini berbahan baku utama dari komoditi import, yaitu gandum. Gandum jadi tepung terigu lalu diproses menjadi mie, pohon industrinya gak sempurna ada di Indonesia.

Panen jeruk bali di belakang rumah ibunda di Purwakarta, 16/5/2015

Dalam pertanian itu terdapat dua mazhab besar sejauh pemahaman saya. Mazhab Agribisnis dan Agrikultur. Agribisnis pendekatannya produk: produksi massal, sejenis dan serempak. Mirip kita buat produk di pabrik. Contoh pelaku kebijakan agribisnis yang konsisten dan berhasil adalah Pak Harto. Kebijakan repelita-nya secara bertaham mempersiapkan  Indonesia agar bisa swasembada pangan dalam jangka 20 tahun, dengan fokus pada beras sebagai makanan pokok. Pak Harto berhasil, swasembada beras tercapai di Repelita IV.

Sementara mazhab Agrikultur, ada kata kultur (culture) yang kurang lebih artinya budidaya – budaya, ada budi dan daya yakni manusia. Jadi faktor human-nya dominan. Tidak serta merta mendorong sekeras usaha untuk mencapai target produksi, tetapi juga memperhatikan aspek budaya, lingkungan dan keberlangsungan. Istilah sekarang dikenal Human Center Technology dalam design thinking.

Agrikultur ini lebih beradab-lah. Tetapi tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam waktu yang singkat dengan capaian volume yang ditentukan. Butuh proses yang lama dan njelimet.

Nah orang-orang yang setuju pada pendekatan Agrikultur biasanya anti impor pangan karena selain tidak berbasis lokal juga tidak ramah lingkungan karena menghabiskan bbm untuk importasi. Pendekatan ini menekankan kita bisa sub-sisten, misalnya dengan mananami pekarangan rumah, menggalakkan vertikultur, aquaponic dan semua usaha untuk secara mandiri kita bisa memenuhi kebutuhan kita sendiri-sendiri. Cukup utopis jika pola seperti ini kita bawa ke perkotaan, di mana setiap orang biasanya menjadi bagian “pekerja” industri yang masing-masing punya fokus keahlian yang berbeda-beda, belum tentu sempat dan mau bercocok tanam atau memproduksi kebutuhan pangan-nya secara mandiri.

Kebijakan swasembada pangan yang menitikberatkan pada beras pada saat itu menghilangkan kebiasaan-kebiasaan mengkonsumsi pangan lokal. Misalnya orang madura terbiasa makan jagung dan orang Maluku – Papua terbiasa mengkonsumsi sagu. Mereka “terpaksa” atau “dipaksa” untuk mengkonsumsi beras, dikarenakan kebijakan agribisnis tadi. Satu sisi bagus, untuk memudahkan “menghitung” capaian swasembada pangan berikut mulut yang harus “disuapi” oleh pangan yg diproduksi, tapi di sisi lain menghilangkan kearifan lokal yang mengubah kultur setempat. Kemudian, keragaman pangan ini (diversifikasi pangan) ternyata justru menjadi bagian penting keseimbangan gizi dan ketahanan pangan di kemudian hari.

Beberapa produk minuman kopi dalam kemasan botol PE, 22/5/2015

ROKOK

Salah satu produk agroindustri kita yaitu rokok. Kita punya lahan tembakau di Jawa sampai Sumatera. Industri kretek (rokok khas Indonesia dengan “saus” cengkeh) kita tumbuh dan secara turun-temurun dinikmati oleh rakyat kita sehingga menghasilkan pabrikan-pabrikan rokok besar seperti Djarum, Sampoerna dan Gudang Garam.

Pohon industrinya sempurna dari hulu ke hilir, penikmatnya ratusan juta rakyat kita yang suka merokok. Tapi apa lacur, industri ini dibunuh oleh kebijakan pemerintah kita sendiri yang mengadopsi tekanan asing untuk mengikuti standard rokok internasional, terutama rokok putih. Karena kebijakan yang menekan ini dan juga cukai yang mencekik industri setiap tahun, Sampoerna akhirnya menjual perusahaan ini ke Phillip Moris (US) dan Bentoel ke BAT (British American Tobacco). Tekanan pada industri tembakau memang terjadi di beberapa cabang olahraga, tetapi pemerintah kita sama sekali kurang mau berjuang sebagaimana negara lain yang berusaha melobby regulasi internasional agar ramah terhadap produk kebanggaan negeri ini.

Kalau indikator berbahaya, minuman energi yang banyak beredar itu sebenarnya sangat berpotensi mendorong penyakit diabetes dan gagal ginjal jika dikonsumsi terus-menerus, tetapi hal ini “dimaklumi” oleh industri olahraga dan regulasi dunia karena kontribusi iklan dan sponsor sangat besar dari mereka. Tak perlu menyebut brand-nya, kita dengan mudah menemukan aksi-aksi berbahaya atau olahraga berbiaya tinggi yang disponsori minuman berenergi misalnya. Mengapa tidak adil untuk rokok?

MIE INSTAN

Beberapa produk pangan kita itu banyak ditopang oleh impor karena bahan bakunya tidak ada atau kalah saing (baik kompetitif ataupun komparatif). Misalnya Sapi pedaging, Mie instan dan Tahu/Tempe. Kita ulas mie instan karena menarik untuk kita telisik.

Salah satu grup bisnis yang besar gara-gara mie instan adalah Salim Group yang awal berdirinya diawali oleh Liem Su Liong sebagai pemasok beras untuk tentara kita. Grup bisnis ini sekarang sangat besar hampir menguasai bukan hanya urusan pangan, tetapi juga air, perbankan dan data center. Salim group, melalui Bogasari Flour Mills menjadi salah satu importir terbesar gandum dari US tetapi mengkonversinya menjadi produk-produk dengan nilai tambah tinggi. Apakah tepung terigu dengan berbagai tipe kegunaannya untuk produk kuliner, pabrik roti yang mereka juga miliki, dan tentu saja mie instant.

Benar, bahwa pohon industri di hulu-nya tidak dikuasai, tetapi mie instant ini menyedot banyak tenaga kerja baik level kerah biru sampai level eksekutif dan ahli-ahli pangan yang senantiasa ber-inovasi sampai membawa produk mereka ke tataran global: Arab saudi, Afrika dan Hongkong misalnya. Ini bentuk kecerdasan negeri ini dan sebenarnya secara neraca dagang, hal ini justru baik walaupun secara kedaulatan pangan, kita tergantung dari US.

AYAM GORENG

Contoh industri pangan yang posturnya sangat ideal adalah ayam potong – ayam goreng. Industrinya mulai dari DOC (day 0 chick) – penggemukan –  pemotongan (slaughter house)  sampai kuliner ayam goreng (fried chicken) semuanya terjadi di dalam negeri. Walaupun pemain utamanya PMA (investor asing: Thailand), tetapi mereka beroperasi sepenuhnya di kita, membayar pajak ke kita dan menggunakan tenaga kerja juga dari Indonesia mayoritasnya.

Pengusaha-pengusaha kecil menengah juga ikut merasakan industri ini dan bisa masuk ke penggemukan dan kuliner ayam goreng. Pelaku global pun seperti pewaralaba KFC, McD menggunakan ayam dari dalam negeri. Walau terjadi import, tidak banyak mengubah peta industri ayam pedaging – ayam goreng yang ada karena benar-benar dikuasai dari hulu sampai hilir.