Muhammad Sirod, November 20, 2018
Disampaikan di Telegroup Klub Buku dan Manajemen Bisnis
Bismillahirahmanirohim.
Saya mencoba membahas satu lagi materi dari Dan Lok, lagi-lagi dari Dan Lok karena saya sedang keranjingan banget ceramah dari pebisnis di bidang konsultansi ini. Dan Lok ini seorang pebisnis yang reputable. Bisnisnya jalan dan dia tidak hidup dari berbicara. Dia berbicara untuk men-challenge dirinya dalam menghasilkan 1000 entrepreneur baru. Dia tidak menggunakan metode funneling dan tidak memberikan sedikit content gratisan agar orang tertarik membeli produknya tetapi dia memberikan 1000-an video, podcast dan buku bermutu secara gratis di internet. Dari penikmat konten-konten tersebut 95% tidak membeli produknya, atau terkonversi menjadi bisnis. Itu pun dia seleksi, yakni orang-orang yang hanya mau membeli produk dari dia dengan harga yang mahal. Sehingga dia tidak direpotkan dengan urusan email marketing, customer, relationship management yang membuatnya repot. Sisi inilah yang menarik dari Dan Lok, cara dia mengelola bisnisnya yang memadukan selera hidup dengan bisnis yang ia geluti. Sebagaimana Alvan Pradiansyah mengatakan, bahwa memimpin adalah kemampuan untuk memilih. Jadi yang disebut pemimpin adalah apabila anda memiliki kemampuan untuk memilih/menyeleksi/memutuskan. Dan Lok mempertajam hal tersebut dengan bertanya kepada fans-nya seberapa berharga waktu anda, dan inilah hal yang akan kita bahas pada sore ini.
Dan Lok mengajarkan tiga kebiasaan terbaik orang super kaya yang sudah saya bahas dalam audio sebelumnya. Pada kesempatan kali ini saya ingin membahas mengenai seberapa bernilai waktu yang kita miliki. Saya teringat pada saat menjadi santri dulu, di mana saat SMA saya bersekolah dan juga sekaligus menjadi santri inap (boarding school) pada sebuah pesantren di Purwakarta. Pondok Pesantren itu bernama Pondok Akhlak Adh-Dhuha. Di awal-awal berdiri, santri pondok ini diambil dari murid-murid SMA 1,2 dan 2 Purwakarta yang merupakan ranking tertinggi dari setiap kelasnya. Ada 30 orang santri terkumpul di angkatan pertama dan hanya 7 orang saja yang lulus, dikarenakan banyak yang tidak kuat dengan sistem pendidikannya yang ketat dan penuh kedisiplinan. Alhamdulillah saya adalah salah satunya. Ketujuh santri ini kesemuanya masuk ke perguruan tinggi negeri pilihannya masing-masing. Ada yang ke IKIP Bandung (UPI), UNPAD, ITB, dan saya satu-satunya yang ke IPB.
Dalam satu kesempatan, Kang Toto Taufik (founder Adh-Dhuha) mengatakan bahwa semua manusia itu diberikan waktu yang sama yaitu 24 Jam dalam sehari. Dari 24 Jam di-break down kembali ada 60 menit atau 3600 detik. Dari 24 jam tsb umumnya orang menggunakan waktunya 16 jam, sisanya 8 jam dipakai tidur. Tetapi ada orang yang tidur hanya 3 jam sehari yaitu Baharudin Jusuf Habibi. Mungkin dalam aktivitasnya yang 21 Jam kadang tertidur di kendaraan atau dalam perjalanan (tidur singkat yang efektif). Tetapi secara umum di malam hari ia hanya tidur 3 jam untuk kemudian terbangun di dini hari untuk shalat malam. Masih menurut guru saya ini, Pak Habibie adalah orang yang sangat disiplin sehingga saya menganggap beliau sedikit sekali waktu istirahatnya dan menggunakan waktunya dengan sangat produktif.
Pada masa-masa nyantri itu, ada kawan saya yang sekarang juga seorang pengusaha di bidang software house dan properti. Ia sampai menulis di dipinggir white board yang selalu dibawa tidurnya (kami selalu membawa white board atau kertas untuk belajar): “Belajar Min 6 jam/hari”. Effort dia dalam melakukan ini ditertawakan oleh seorang teman dan yang mentertawakan tsb ternyata “hanya” sanggup masuk ke IKIP Bandung Jurusan Kimia sementara kawan saya tersebut masuk Teknik Informatika ITB (kita tahu bahwa passing grade Informatika ITB sampai sekarang merupakan salah satu prodi paling sulit ditembus bahkan oleh para lulusan terbaik setiap sekolah). Kawan saya yg masuk IF ITB ini sangat menghargai waktunya untuk dimaksimalkan untuk memilih pendidikan terbaik untuknya. Sejak saat itu saya agak khawatir mencela effort orang lain karena bisa jadi yang dicela lebih baik dari yang mencela dan itulah yang menjadi titik balik saya untuk selalu bekerja dan berusaha keras untuk menggunakan waktu sebaik mungkin.
Kami bangun setiap hari jam 3 dini hari untuk bertahajud sebelum pergi sholat shubuh berjama’ah di masjid. Setelah itu riyadhoh, yaitu olah raga seperti senam, lari keliling alun-alun atau Situ Buleud, bahkan sesekali kami belajar bela diri diajarkan oleh salah satu dari kami yang mahir seni bela diri.
Ada beberapa saat dalam kehidupan saya sering membuang-buang waktu sampai menjadi kebiasaan yang sulit sekali dicari obatnya. Karena waktu itu hilang dalam kesia-siaan dan ia tidak pernah bisa kembali. Guru kami, Kang Toto mengingatkan jika ingin tahu harga waktu seseorang, maka akan berbeda-beda jawabnya.
Untuk tahu nilai waktu dari 1 hari bisa bertanya kepada seorang Gubernur atau Presiden, gimana rasanya kehilangan waktu satu hari. Jika ingin tahu bedanya waktu satu jam dan dua jam itu bisa ditanyakan ke orang-orang yang mau terbang dengan pesawat, bagaimana mereka menyiapkan diri 2-3 jam sebelum terbang dan gimana rasanya mereka delay pesawat 1 jam atau kena macet 1 jam di perjalanan menuju bandara. Jika ingin tau bedanya waktu 1 menit dan 2 menit bisa bertanya kepada pelari jarak menengah atau marathon, berapa bedanya menurut dia. Sedangkan jika ingin tahu bedanya waktu 1 detik dengan 2 detik atau mungkin sepersepuluh detik kita bisa tanyakan pada pelari sprinter, bagaimana arti lama waktu sesingkat itu buat mereka.
Saya sangat mengagumi pengandaian harga waktu yang diceritakan oleh guru saya tsb. Ternyata walaupun setiap orang memiliki waktu 24 jam yang sama, makna waktu setiap orang akan sangat berbeda. Satu hal lagi untuk memahami ilustrasi soal menunda waktu bisa kita selami dari nasehat senior saya Bang Handri Santiago (CEO GE Indonesia). Beliau adalah senior saya di IPB beliau dari Jurusan Teknologi Industri Pertanian (walau dalam CV yg tersebar dia disebutkan lulusan Teknologi Bio-Industri IPB). Beliau pernah mengilustrasikan dalam hal menunda pekerjaan, “Rasa gak nyaman karena memaksakan menyelesaikan sebuah pekerjaan/tugas itu akhirnya akan sama dengan rasa gak enak ketika kita menunda-nunda sebuah pekerjaan. Karena pada akhirnya toh kita juga akan menyesal karena tidak mengerjakan apa yang harus kita kerjakan. Jadi daripada menunda sebuah pekerjaan, sama-sama gak nyaman, mending dikerjakan saja segera karena toh rasa yang didapat sama, tetapi bedanya pekerjaan kita ada progress-nya atau ada hasilnya”. Kurang lebih begitu kalimat yang saya baca dari status beliau di sebuah kanal media sosial.
Jadi masih mau menunggu-nunggu waktu untuk menunda pekerjaan, menunda waktu untuk scale up bisnis anda, menunda waktu untuk menaikkan kapasitas pergerakan anda di bisnis. Ingatlah kata-kata Bang Handri Santiago sangat powerfull tsb. Jika saya malas terhadap satu pekerjaan yang saya hadapi, saya akan memecahnya seperti Sir Isaac Newton menyelesaikan masalah. Saya uraikan mana yang paling mudah dikerjakan dahulu dan yang mengundang mood saya untuk menyelesaikannya. Setelah itu perlahan saya kerjakan seraya tambahkan beberapa suasana kerja yang rileks dan mendorong kita untuk semangat menyelesaikannya. Misalnya pergi ke café, sambil minum vietnam’s drip coffee, ngemil atau saya sediakan waktu sejenak bercengkrama dengan anak-anak dan istri sebagai mood booster.
Jika bisnis kita semakin berkembang, kita sudah cekatan mengelola “Money” dan “Materials” maka diperlukan kemampuan mengelola “Man” dan kerumitan “Milieu” dengan teknik “Management”. Waktu anda akan semakin berharga, maka hal-hal yang sekiranya bisa dikerjakan orang lain, kasihlah ke orang lain dengan imbalan gaji, honor, sharing keuntungan atau metoda take & give lainnya (mu’amalah). Point-nya adalah, men-deliver satu tugas atau beban pekerjaan itu dalam bisnis pasti membutuhkan uang. Untuk itu fokusnya adalah harus punya uang untuk memperkerjakan orang-orang terbaik tersebut. Saya sering mengibaratkan bahwa pemimpin itu musti mencapai tingkat/stage dari teknis à taktis à supervisory/manajerial à strategis à filosofis. Jika kita hanya berkutat sampai 3 level awal saja (teknis, taktis dan manajerial) maka bisnis kita akan stuck di situ-situ saja. Maka gunakan waktu sebaik mungkin untuk scale up kemampuan kita untuk masuk ke level selanjutnya.
Alokasi waktu yang saya gunakan di proyek misalnya, harus lebih presisi lagi nilai/kualitasnya. Sehingga adanya saya dalam sebuah proyek harus menyelesaikan banyak persoalan besar yang tidak bisa dipecahkan tim di lapangan. Hal-hal yang saya secara teknis tidak mampu, musti saya berikan pada orang lain yang memiliki kecakapan tinggi soal ini, sehingga saya tinggal fokus mengendalikan proses dan result dari tim yg saya serahi tsb.
Dan Lok ternyata juga mengajarkan hal itu, setiap waktu kita ada nilainya dalam bisnis dan harus semakin tinggi nilainya seiring waktu (hari ini harus lebih baik dari hari kemarin). Kita mengerjakan proyek skala ratusan juta sampai milyaran itu artinya value kita di mata customer sudah dianggap setaraf itu. Saya misalnya mengerjakan sebuah proyek water treatment untuk Rumah Sakit. Dalam satu pertemuan mungkin saya hanya membutuhkan waktu 10-20 menit saja di lokasi proyek, saya sudah mampu memetakan masalah dalam proyek tersebut secara detail. Contoh lain, misalnya ada satu proyek water treatment untuk satu rumah mewah, saya akan bisa mengeluarkan beberapa pertanyaan pokok yang harus dijawab oleh si owner untuk kemudian diberikan solusi sistem yang menyeluruh sehingga menyelesaikan setiap detil kebutuhannya. Saya juga akan bergerak mengunjungi titik/spot dalam rumah atau denah rumah terkait detil pekerjaan yang harus saya lakukan. Waktu yang singkat itu tidak akan bisa digunakan oleh sembarang orang, apalagi yang baru bergabung di industri water treatment 2-3 tahun saja.
Jadi berapakah nilai waktu anda? seberapa besar sih berharganya? berapa sih nilainya dalam satuan menit, jam, hari yang anda punya? jangan disia-siakan. Mari kapitalisasikan dengan memaksimalkan waktu yang kita punya untuk sesuatu yang lebih powerfull.
Siapa yang harus terlebih dahulu mendapatkan waktu terbaik anda? Nah ini sangat tergantung mazhab atau system value hidup yang anda jalani. Kalau dalam benak saya, karena hidup ini hakekatnya diberikan oleh Tuhan, maka setiap detik helaan nafas harus saya persembahkan untuk Tuhan pula. Setiap project, setiap progress, setiap langkah untuk membangun bisnis saya niatkan untuk Ibadah. Filosofinya adalah ‘Abid (abdi / makhluk) Tuhan dan Khilafah (pengganti) Tuhan dimuka bumi, konsepnya sangat dalam, saya temukan ketika saya membaca tafsir Al-Azhar karangan Buya Hamka.
Pihak berikutnya dari alokasi waktu kita adalah orang-orang yang membangun diri kita sampai sekarang ini. Siapa lagi kalau bukan keluarga kita, yaitu Istri, anak-anak, Ibu-Bapak, Ibu-Bapak Mertua, saudara dan kerabat. Ibu dan Ayah adalah yang menghabiskan waktunya untuk mendidik kita sampai kita bisa mandiri lalu dipercaya orang lain untuk “memimpin & hidup bersama” anak-nya yaitu istri/pasangan kita sekarang. Kemudian secara perlahan, kemampuan kepemimpinan, manajemen waktu dan resources kita semakin baik karena ada pasangan yang mengoreksi kita secara jujur, sampai pada tiba waktunya pada tahapan kita berhasil meningkatkan tingkat kompleksitas bisnis yang orang-orang di sekitar kita tidak akan mampu memahaminya.
Kitalah sendiri yang mengatur waktu dan perhatian kita untuk pekerjaan: karyawan, proyek, arus kas dan keluarga: sekolah anak, kebutuhan istri, liburan. Kita yang menentukan mana yang paling penting, mana yang paling urgent dan mana yang bisa ditunda atau dikerjakan kemudian. Urutan penting-tidak penting, urgent – tidak urgent ini sangat fleksibel tergantung penilaian kita. Contoh kecil misalnya ketika saya ada rapat penting yang tidak bisa ditinggal, tiba-tiba istri minta ditemani ke salon favoritnya, tentu saya tidak bisa membatalkan rapat penting tersebut dengan alasan sayang istri kan? Kita bisa yakinkan istri kita bahwa ada rapat penting yang tidak bisa ditinggal, mungkin jika salon tersebut cukup dekat dengan rumah kita bisa antarkan dulu istri kita lalu kita bisa berangkat ke tempat rapat, pulangnya kita minta dia pakai Grab atau transportasi publik pilihannya.
Inti dari materi kali ini adalah, waktu itu sangat mahal, ini adalah modal yang tidak bisa dikembalikan. Harus benar-benar kita maksimalkan setiap detiknya. Saya kira itu materi saya kali ini semoga bermanfaat.
Wasallamualaikum
Leave A Comment