Sering kita menemukan kata kepikiran ketika kita berdialog atau ngobrol dengan beberapa teman. Misalnya: “Wah Nadin Makarim keren ya bikin Go-Jek padahal dulu gw kepikiran bikin begituan tuh..”, “Wah Bukalapak, Tokopedia bikin bisnis Marketplace bagus banget ya jadi unicorn! Padahal gw kepikiran tuh kayak gitu dulu..”. Ya itulah contoh bagaimana diksi kepikiran dipakai oleh kawan atau sebagian dari kita.

Lantas saya mencoba mengkritisi apa sih yang dimaksud dengan kepikiran itu? ternyata kalau diamati (saya belum lihat kamus besar bahasa ya) sepintas yang saya anggap kepikiran itu bukan berfikir tetapi sekelebat terlintas dalam fikiran, sekelebat terlintas dalam otak kita. Yang kedua adalah apakah dia (kata kepikiran ini) produktif atau tidak? dan ternyata tidak produktif karena kepikiran itu tidak ada action jadi difikirkan selintas saja. Alhasil saya berusaha menghindari kata kepikiran itu, karena sebuah ide yang datang sekelebat yang tidak didalami apalagi dieksekusi anggap saja itu cuma bunga fikiran (padanan bunga tidur 😀 ).

Lalu bagaimana sebenarnya berfikir dalam bisnis? misalkan kita ingin berfikir tentang bisnis apakah kita harus berfikir, merencanakan sesuatu bisnis itu sampai sempurna 100%? Kadang ada orang bilang berfikir dulu baru ngomong, berfikir dulu sebelum bertindak.

Some how itu benar ya dalam bertindak, berbicara pun kita butuh berfikir. Tapi klo buat saya berfikir itu bukan diperlukan sebelum bertindak, tetapi sebelum, saat dan setelah bertindak kita harus berfikir. Jadi otak itu selalu berfikir kontinu. Sebelum bertindak kita mungkin berfikir walaupun tidak sempurna. Kemudian kita bergerak dan fikiran kita mengevaluasi setiap gerak-tindak kita.

Kita bayangkan saat kita mengendarai mobil lalu salah arah, kita bisa sadari bahwa kita salah arah dan mungkin mengambil rute yang lebih panjang tetapi kita meyakini bahwa kita tidak tersesat dan masin on track, dan masih akan mencapai tujuan yang benar. Setelah sampai ke tujuan, kemudian kita berfikir lagi what’s next? dan what’s happen tadi kita sampai keliru jalan? evaluasi atas proses sebelumnya.

Ternyata cara ini dalam design thingking adalah pola yang benar, membentuk siklus spiral. Inilah yang saya maksud dengan berfikir vs kepikiran. Bahwa berfikir itu kita perlukan saat : sebelum melakukan tindakan, saat melakukan tindakan, dan setelah melakukan tindakan.

Para pemikir yang disebut filsuf itu menghasilkan buah fikir yang disebut dengan pemikiran. Saking indahnya rangkaian pemikiran yang ia hasilkan menjadi filosofi hidup. Filosofi bisnis juga dihasilkan dari rangkaian buah fikir yang menjadi satu pakem tertentu dan proven dibuktikan dan diikuti orang banyak.

Pada jaman yang makin cepat seperti sekarang ini, di mana informasi begitu mudah menyebar di semua kalangan  dengan beragam platform media dan teknologinya menyebabkan kita kurang kritis terhadap apa yang terjadi dan cenderung untuk ikut-ikutan. Kita berada dalam suatu sistem yang terombang-ambing oleh informasi yang bertubrukan satu sama lain. Kalau kita tidak memiliki satu pakem pemikiran, satu kualitas berfikir systemic maka kita akan terbawa oleh suasana atau arus informasi atau perubahan yang sebenarnya bisa menjerumuskan.

Hal ini akan membuat kita lelah dan tidak konsisten terhadap tujuan-tujuan jangka panjang yang hendak kita bangun. Karena Tuhan bekali kita dengan akal dan fikiran yang sangat canggih sehingga bisa menjadi filter dari sebaran informasi tersebut. Gunakanlah fikiran-fikiran tersebut yang sesuai keuntungan atau kebutuhan kita terlebih membuat manfaat untuk lingkungan tempat kita berada.

Contoh misalnya ada tetangga kita yang bisnisnya sudah sukses, dia memiliki banyak kendaraan bermotor baik roda dua dan roda empat. Kepemilikan kendaraan tersebut selain hobby ternyata menunjang bisnis secara tidak langsung. Value dari kendaraan-kendaraan koleksi tersebut selain sebagai saluran kepuasan si empunya juga ternyata jalan dia berkenalan dengan komunitas spesifik yang ujung-ujungnya sangat terkait dengan bisnis beliau. Nah, terkadang orang awam yang melihat sepintas hanya iri dan terdorong memiliki gaya hidup dan kemampuan seperti itu, padahal tidak dibutuhkan.

Terkadang kita melihat ada orang yang masih menjadi “bayi” tapi dipaksa untuk mengunyah popcorn, atau jagung bakar yang tentu saja belum kuat untuk dikunyahnya, atau dipaksa menari padahal baru belajar merangkak. Kita harus pandai berfikir membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan, mana yang urgent dan mana yang bisa ditunda.

Sosok saya saat ini saya lebih banyak menjadi “Water Treatment Specialist” atau kontraktor (trader) bukan seorang pembicara publik yang selalu tampil didepan dan harus selalu enak dipandang dengan beragam aksesoris-nya. Handphone yang saya gunakan/beli tidak pernah yang super bagus, baru atau mahal-mahal amat, lebih ke yang cocok saja atau fungsional. Bahkan yang saya pakai sekarang ini adalah HP bekas yang istri saya pakai.

Mungkin nati jika menjadi pembicara publik barangkali perlu menggunakan gadget seperti jam digital untuk saya gunakan agar terlihat mengesankan sehingga menambah level confidence. Tapi hal ini bukanlah  yang utama, melainkan kualitas diri kita dulu. Tools dan gadet itu penopang performa bukan sesuatu yang pokok. Hal-hal begini ini yang perlu disadari oleh kita dalam menentukan pilihan-pilihan.

Saya sering menemukan kejadian waktu berkarier sebagai salesman. Sales itu rata-rata gaya banget, kalau memakai handphone maunya yang paling canggih, baju, tas maunya yang branded, which is harganya bisa berkali lipat dari gajinya dia, dan bahkan komisi sales dia setahun bisa habis hanya untuk gaya-gayaan begitu. Pernak-pernik itu dijadikan sombong-sombongan dan gaya-gayaan ke sales lain. Padahal kalau dia bisa berhemat sedikit terus menginvestasikan pada buku, seminar-seminar salesmanship, product knowledge, sambil memperbaiki hal-hal yang fundamental kemampuan profesionalnya.

Saya adalah seorang sales yang tidak pernah investasi habis-habisan untuk hal-hal yang artifisial. Saya lebih menggunakan waktu, tenaga dan soft skill saya untuk bisa diupgrade sehingga semakin dipercaya oleh para potential customer saya. Kemampuan presentasi saya upgrade, dokumen produk didesain lebih baik, lalu mengubah mentalitas untuk selalu mengatakan YA! pada customer saya ketika mereka mengharapkan layanan lebih.

Disadur ulang dari Telegroup Klub Buku dan Manajemen Bisnis