lanjutan dari artikel sebelumnya

Secara personal saya tidak menyukai cara Garuda berbisnis bahkan sejak dahulu, mengapa karena saya dapat informasi soal meruginya maskapai Merpati Airlines anak usaha GA (dulu GIA). Ada yang mengatakan kalau Merpati sebenarnya sengaja dibunuh untuk mengamankan Garuda, bobrok2 manajemen Garuda ada di Merpati. Merpati mati, Garuda tetap hidup, brandnya semakin baik, digelontor budget besar “pencitraan” Garuda sebagai maskapai kebanggaan tanah air tidak kongruen dengan postur pelanggan dalam negeri untuk jasa penerbangan. Garuda fokus melayani penerbangan internasional dan para birokrat yang merasa terpuaskan karena mahalnya tarif, ini menjadi kebanggan semu para birokrat eselon bawah untuk mencicipi layanan Garuda dan sering kita melihat mereka memamerkan tiket GA sebaga bentuk statemen diri kalau mereka mampu membeli tiket mahal tsb.

Citi Link adalah jawaban dari market yang ada di Indonesia. Era Low Cost Carrier yang dipelopori Southwest Airlines di Amerika dan Air Asia di Asia (basis Malaysia) diikuti oleh GA walau sedikit terlambat. Konsep pramugari dengan pakaian ringkas, berwarna hijau tua sebagian berkerudung dan selalu menyertakan pantun oleh awak kabinnya membuat saya loyal dengan layanan Citi Link.

Model bisnis GA yang full-services airlines memaksa maskapai ini lebih melayani penerbangan internasional sehingga bisnis yang dimodali APBN via BUMN ini malah tidak melayani publiknya sendiri, alih-alih menjadi kebanggaan nasional karena dirasakan rakyat banyak, GA justru bertarung di pasar super kompetitif dan kita tahu hasilnya, failed! GA merugi terus menerus, bahkan investasi pembelian pesawat komersial berbadan besar (pesawat jelajah benua) memberatkan kinerja keuangan mereka. Sekian puluh persen, saham GA dibeli oleh Chairul Tanjung untuk menambah pasokan modal menggerakkan roda bisnis mereka. Sebelumnya tak terhitung masalah demi masalah berdatangan mulai dari pilot mogok terbang sampai pada laporan keuangan yang “diengineering” agar tampak memukau.

State owned entreprise atau BUMN di kita ini ada UU-nya yang membatasi ruang gerak dinamis dan penuh dengan pengaruh politik praktis kekuasaan. Jika dulu GA dipandang sebagai industri strategis, saya memandang sudah saatnya pemerintah merenung ulang dan memikirkan kerugian demi kerugian besar yang harus ditanggung negara akibat salah arah, salah urus dan salah orang dalam mengelola bisnis GA. Industri penerbangan saat ini tidak lagi menjadi sesuatu yang rumit dan kompleks dengan tumbuhnya industri pendukung aviasi dari berbagai belahan dunia. Secara manajemen stratejik dan proses bisnis, GA harus dievaluasi habis-habisan dan harus berani memunculkan opsi dijual total lalu membesarkan City Link, misalnya.

Saya kebetulan berteman salah satu pemuka atau eksekutif GA di media sosial, saya perhatikan yang ia bangun bukanlah bagaimana dia menyelamatkan GA dan berjibaku dalam kesibukan-kesibukan manajerial membesarkan GA sebagaimana yang dilakukan Pak Jonan ketika menyelamatkan PT. KA dulu, ini malah membuat postingan-postingan yang menyiratkan ia hebat, ia cakap dan segala jenis personal branding lainnya. Menurut saya memang GA ini sudah kekurangan eksekutif pekerja yang solid. Mentalitas SDM: Selamatkan diri masing-masing pada manajemen GA jelas-jelas memperburuk kinerja perseroan ini, menteri BUMN Bu Rini Suwandi harus segera mengambil langkah-langkah stratejik.

Bersambung.. (2)