Mungkin terbersit oleh kita setelah menjadi pengusaha/pebisnis kita berfikir untuk makmur/kaya. Kaya seperti apa? Istri saya berkata: “Menurut saya kaya itu banyak waktu dengan keluarga, banyak perhatian sama keluarga jadi bukan hanya semata-mata uang yang dicari tapi penting yang namanya perhatian itu untuk menjaga kelangsungan rumah tangga. Jadi paling penting itu perhatian karena banyak uang kalau dirumah gak ada perhatian juga hambar rasanya”.

Hm.. berapa kali istri saya menyebut kata “perhatian” wah wah..  😁, saat materi ini saya buat via voice note sangat berkesan karena itu adalah ungkapan jujur dari istri saya kepada forum bisnis yang saya kelola. Alhamdulillah saya langsung sangat serius menanggapinya dan lebih banyak lagi memperhatikan dia dan keluarga. Penting buat saya menjaga kebahagiaan lingkaran kecil keluarga saya karena hal ini sangat menopang kinerja kita dan merekalah tujuan-tujuan kita bekerja keras dan berharap bisnis semakin maju ke depannya. Jika bisnis maju tetapi mereka merasa dikucilkan dan dipinggirkan, saya masukkan dalam parameter kegagalan.

Saya pernah membuat ulasan bagaimana memperlambat laju bisnis dikarenakan ketidaksiapan keluarga. Maksud saya adalah ketika di awal-awal bisnis di mana kita menjadi titik kritis bergeraknya bisnis, alias semua tergantung kita dan menjadi Chief Everything Officer alias manajemen tukang sate gerobak (motong daging, nusuk sate, manggang sate sampai menyajikan oleh sendiri), tetapi jika tim sudah mulai terbentuk, keputusan teknis dan taktis sudah bisa dideliver ke tim kerja maka sebenarnya tidak perlu kita melakukan perlambatan. Walau dalam kenyataanya tidak ada kata ideal untuk kondisi tsb. Ketika pencapaian bisnis menjadi target utama kita, maka harus terbiasa jika orang-orang tersayang protes dan mengkritik waktu mereka yang berkurang.

Rumah adalah tempat istirahat dan re-charge point kita setelah seharian (bahkan semalaman) bekerja dan beraktivitas. Jangan sampai rumah yang kita bangun malah membuat kita enggan melepas lelah dan menjadikan cafe, kantor dan spot-spot lain menjadi saluran kita. Yang saya rasakan, jika sudah mulai seperti itu maka celah-celah ketidakseimbangan mulai terlihat, dalam kasus saya maka fondasi akan mulai goyah yang ujung-ujungnya mengganggu bisnis yang kita bangun juga.

Beban menjadi pebisnis gak mudah, selain memikirkan kemauan istri kita tentu juga istri karyawan kita termasuk keluarganya, sementara tentu saja target dan pencapaian perusahaan menjadi dasar itu semua. Tentu saja tidak ada aturan yang baku bagaimana kita mengelola semuanya. Ukurannya adalah bisnis kita tumbuh, berkembang dan membuat tim kerja, share holders happy maju bersama dalam kepemimpinan kita.  Terkadang, kita merasa kesepian dan tidak bisa berbagi beban yang kita hadapi tersebut karena yang ada adalah tanggung jawab dan amanah.

Di Indonesia, banyak konglomerasi dibangun dari bisnis keluarga. Artinya, sebagai pebisnis founder Salim Group, Sampoerna, Djarum atau Sinarmas itu sangat diakui kepemimpinannya dan manfaatnya oleh keluarga mereka. Manfaat dari bisnis yang dijalankan dirasakan oleh keluarga mereka sendiri dan tentu “saling memanfaatkan” untuk besarnya bisnis mereka di masa depan. Saya perhatikan, walau pada ujungnya akan direkrut orang-orang terbaik – kaum profesional yang menghela bisnis para taipan tersebut, tetapi keluarga tetap menjadi penopang dan penjaga bisnis tsb dijalankan. Nilai-nilai perusahaan dijaga oleh anggota keluarga tersebut. Mungkin ini cara Asia, dan ini terbukti berjalan. Tak keliru jika kita menirunya.