Pebisnis itu selain yang seperti saya, ada juga yang mendapatkan “warisan bisnis” dari orang tuanya. Berbeda dengan saya, mungkin si pewaris tersebut tidak akan mengalami apa yang saya alami, yaitu respon orang-orang di sekitar kita karena kita berubah karakter/mindset.

Saya mengalami keadaan yang mengharuskan beradaptasi dengan keras (struggling) dan itu membuat orang-orang di sekitar kita merespon bermacam-macam dan terkadang menduga-duga soal kita, misalnya: “Wah mas Sirod sudah semakin kapitalis nih,” “Pak Sirod makin galak, makin tegas, wah tega dia mecat orang”, “Ooh dia jadi makin sering tampil, ah jadi banci media dia sekarang..” dan komentar lainnya. Stigma itu akan tertancap ke kita saat kita semakin serius pada bisnis kita yang ditandai dengan perubahan sikap/mentalitas tadi.

Respon negatif dari orang-orang tsb adalah konsekuensi logis karena kebanyakan orang memang tidak memiliki mindset milyuner. Kita tidak perlu mengontrol atau mengendalikan respon orang ke kita, yang penting orang-orang peduli pada produk yang kita ciptakan dan terus membelinya. Tetapi jika kita diapresiasi karena menciptakan produk yang hebat sementara karakter kita juga disukai anggap saja itu sebagai bonus kehidupan.

Jika kita sudah berbisnis, punya produk, punya brand dan punya perusahaan, akan ada keinginan dalam diri untuk mewariskan bisnis kita ke keturunan kita. Kita akan mati-matian membangun produk, brand dan perusahaan kita dengan visi jangka panjang karena kita berharap peninggalan ini dapat diwarisi oleh anak cucu kita.

Untuk itu pasti anak-anak kita disekolahan yang bidangnya related dengan bidang bisnis kita, misalnya saya punya keagenan katup air, saya berharap salah satu anak saya punya latar belakang sekolah bisnis atau bidang teknik yang sedikit banyak memahami air perpipaan. Belum tentu keturunan si pebisnis itu cocok dengan visi besar yang dibangun orang tuanya. Ada yang punya anak, tak satupun keturunannya itu sesuai dengan passion orang tuanya dalam berbisnis pada bidang tersebut sehingga si anak malah berkarir, menjadi seorang profesional seperti artis, dokter atau pengacara atau malah membangun bisnisnya sendiri yang berbeda sama sekali.

Mewariskan bisnis menjadi satu tantangan besar bagi saya, bagaimana ketika mengelola bisnis kita memberikan layanan terbaik untuk pelanggan, memberikan apa yang market butuhkan, tetapi di sisi lain di rumah saya juga harus meyakinan anak-anak saya bahwa pekerjaan saya menyenangkan, saya cintai dan mereka juga bisa bahagia menjalankan bisnis ini kelak. Artinya, baik di luar rumah dan di dalam rumah, kita harus sama-sama menjadi orang hebat, berat!

Saya berharap apa yang saya bangun hari ini akan memudahkan anak keturunan saya nanti membangun bisnis ini lebih besar. Diharapkan mereka tidak lagi susah payah sebagaimana saya membangun di awal-awal, tentu mentalitas “bersusah-susah dulu” tetap akan kami terapkan sebagaimana para konglomerat besar mendidik anak-anak keturunannya. Mentalitas entrepreneurlah yang membesarkan usaha mereka diterjang badai dari generasi ke generasi.

Sistem yang dibangun mungkin tetap akan dikombinasikan dengan profesional pilihan yang dikader sejak mula oleh perusahaan. Sehingga perusahaan bisa maju seperti perusahaan publik walau dikelola oleh pemilik keluarga.

Maka menjadi penting membangun adab dan akhlak yang baik pada anak-anak kita, karena mereka nantinya akan menjadi pelayan bagi tim-nya, lebih jauh pelanggan-pelanggan kami. Anak yang dididik disiplin, melayani, rajin, pekerja keras tentu akan mudah beradaptasi dalam suasana bisnis dan entrepreneurship. Bangga menimati hasil jerih payah sendiri dan terbiasa independen akan menjadi modal yang baik untuk mereka ke depannya.

Jika saya berbisnis dan berwirausaha di waktu kecil dulu dikarenakan keadaan yang sulit. Jualan es lilin dari warung ke warung, menjadi kondektur angkot dan jualan buku-buku agama saat SMA adalah catatan menyenangkan buat saya. Jika saya bisa desain anak saya berbuat sama tanpa didorong oleh keadaan yang sulit, tentu hasilnya tidak akan jauh berbeda.

Banyak produk-produk bermutu di Eropa sana dibangun dari perusahaan keluarga. Produk dan brand tersebut hidup selama beberapa generasi. Tentu dibutuhkan founder yang punya visi besar dan berwibawa menjadi peletak fondasi bisnis untuk anak keturunannya.