Namanya trend tentu hanya sementara, seasonal, temporary. Ada siklus / slove kapan dia naik, ada juga waktunya dia turun. Bisnis mengikuti trend artinya berbisnis mengikuti kecenderungan-kecenderungan yang sementara saja. Saat artikel ini ditulis, contoh bisnis yang sedang trend adalah warung kopi / cafe. Selain menjamur, dukungan pemerintah di ekonomi kreatif juga cukup kuat, belum lagi industri pendukung perlengkapan cafe cukup mudah diakses banyak pelakunya.

Coba kita analisa ringan-ringan saja soal trend bisnis warkop ini. Pertama mungkin karena ledakan generasi produktif millenials, demografi kita memang punya bonus besar di usia muda. Warung kopi dengan menu kopi kekinian dan suasana cozy memang mengundang banyak anak muda datang. Kedua mungkin memang faktor pohon industri kopi yang dari dulu kita sudah mapan menjadi pemasok produk-produk tanaman keras seperti teh, kakao, karet selain kopi yang sedang kita bahas ini. Keunggulan komparatif yang diberikan Tuhan pada alam Indonesia dan exposure bisnis warkop secara global, kebutuhan ruang kerja yang santai yang memadukan rumah – kantor sebagaimana yang digarap starbucks dari dulu, akhirnya ditiru oleh para pelaku bisnis kopi ini.

Howard Schultz dalam Pour your heart into it, yang saya baca di penghujung saya kuliah di Bogor dulu memang menulis perburuan kopi-kopi terbaiknya sampai ke Indonesia termasuk daerah Sumatera untuk mendapatkan biji-biji kopi terbaik langsung dari petani-petani kita. Hebatnya, industri kopi olahan (campuran) yang sanggup dibeli market lokal kita (kopi sachet) menjaga kebiasaan minum kopi penduduk negeri ini, disparitas harga antara warung kopi sachet dan starbucks terlampau jauh sementara bahan baku melimpah dan industri pendukung cafe/warkop juga tumbuh secara global. Maka semaraklah bisnis cafe ini sampai sekarang. Tumbuhnya industri mesin dan perlengkapan kopi, menjadi alasan ketiga dari analisa sederhana saya melihat trend bisnis warkop ini.

Kreativitas memang menjadi kunci juga di bisnis warkop ini. Tak heran bila BEKRAF (badan ekonomi kreatif, sekarang dilebur di kementerian pariwisata) memasukkan bisnis kopi ke dalam salah satu bisnis yang dikembangkan dan dibina. Model bisnis warkop jadoel yang basisnya kopi sachet (campuran, gak kopi murni, dikemas dan dijual harga murah) tidak banyak diminati dikunjungi millenials. Sementara warung-warung kopi heritages seperti A-Siang di Pontianak atau di warkop di Jl. Sudirman Pekanbaru atau Kupi Aceh juga sulit dikapitalisasi dan dimultiplikasi karena benar-benar terpaku oleh sang barista yang puluhan tahun menggunakan resep dan metoda turun temurun tampa alat memadai untuk menggantikan si barista. Maka lapak-lapak kopi kekinian itu memang jawaban kebutuhan market yang ada.

Di Jakarta sendiri, awalnya saya menikmati kopi kekinian (kopi susu gula aren) hanya di outlet2 Kopi Tuku di Jl. Cipete Raya yang sulit memarkirkan mobil. Sampai artikel ini ditulis setidaknya mereka sudah punya 4 outlet yang dikembangkan dengan modal sendiri tanpa injeksi modal dari VC sebagaimana kopi kenangan, fore atau janji jiwa yang massif sekali pertumbuhan cabang-cabangnya. Model bisnis dan kapitalisasi memang menjadi pilihan pebisnis karena punya konsekuensi masing-masing. Fore terbukti gagal untuk bertumbuh di tengah kerasnya persaingan ditambah pandemi Covid19 yang kita alami.

Setelah menjadi konsultan re-branding sebuah warung kopi di bilangan Pramuka Raya, Depok, saya bertambah faham mengapa bisnis cafe begitu mudah-nya direplikasi. Pemasok bahan pangan seperti gula aren cair, powder minuman sampai pada cup plastik juga telah ada 2nd dealer-nya di kota-kota yang berpenduduk padat seperti Depok ini. Di mana kebutuhan nongkrong-nya tinggi. Jika entry barrier pada sebuah bisnis makin mudah, maka potensi bisnis itu semakin nge-trend semakin mudah, dan ujung-ujungnya kompetisi akan menggerus margin yang ada sehingga efisiensi harus ketat dilakukan. Cafe yang saya rebranding akhirnya ketahuan rugi-nya berapa, titik lemahnya di mana baik dari sisi manajemen strategi ataupun proses bisnis-nya.

Ada seorang kenalan yang mencoba-coba bisnis ini dengan modal gak sedikit, mencoba menguasai bisnis ini dari roasting sampai ke cafe dengan investasi mesin juga propertynya, ini saya duga akan berat justru setelah saya mencoba mendandani bisnis orang. Saya bilang ke beliau, “Gue gak perlu keluar duit buat faham bisnis ini, cukup jadi konsultan, dibayar pula”. Entah sampai kapan trend ini berlanjut, agaknya Covid19 masih jadi hantu bagi para beberapa pelaku bisnis warkop.