Bijak itu adalah membiarkan apa-apa yang tidak bisa diubah, begitu nasehat seorang professor di IPB ketika saya membantunya menjalankan satu lembaga penting yang cukup baik pencapaiannya saat itu. Kata-kata ini terngiang-ngiang terus dalam hidup saya, dan menjadi cara saya kemudian memperbaiki, mengubah atau melakukan improvement di organisasi tempat saya berkarya. Intinya, sepanjang bisa diubah, saya akan ngotot hehehe..

Manusia-manusia yang tidak efektif salah satu kebodohan mereka adalah gak memahami dan gak bisa membedakan mana hal-hal yang bisa diubah dan tidak bisa diubah (atau tidak punya kuasa/tupoksi untuk mengubah). Seorang ibu rumah tangga, yang urusan rumah tangganya saja belum tentu beres, mencoba-coba menganalisa rumah tangga negara. Mending kalau punya background makroekonomi, misalnya. Dan seandainya pun analisanya benar, toh analisanya juga tidak akan mengubah apapun, karena ia bukan tupoksinya mengurusi rumah tangga negara, ya kan? nah ini contoh logika sederhana soal-soal yang gak bisa diubah.

Media sosial kita dipenuhi hal-hal gak penting karena umumnya masyarakat kita bukan masyarakat yang efektif, bukan pelaku, bukan praktisi beneran, bahkan bukan pakar tapi kalau berargumen maka berlaku “Maha benar netizen dengan segala komentarnya”. Ingat ya, ini pun kita gak mampu atau bisa mengubah perilaku netizen begini, jadi lebih bijak kita ubah diri kita sendiri, perkaya konten-konten bermutu di media sosial dan bertemanlah dengan manusia-manusia produktif yang bermanfaat untuk diri kita, simple bukan?

Contoh berikutnya adalah persoalan cinta lawan jenis. Si A cinta si B, si B gak cinta si A, jika kita di posisi si A maka kita harus kalkulasi seberapa besar PDKT ke si B agar balik mencintai kita, tapi kalau kita sudah berusaha, dan ini bukan soal yang bisa seluruhnya dilogika-kan, ngapain musti lama-lama nungguin si B cinta ke kita? mending cari si C, si D sampai si Z yang mungkin justru lebih mudah didapatkan, effortnya lebih murah dan ehem.. bawa barokah untuk anak cucu kita nanti. Jangan bucin pada “budak” yang salah hehehe..

Contoh ketiga ini contoh akibat dari kehidupan politik praktis kita yang gak sehat. Gak melulu salah orang dan mentalitas rakyat, tapi juga akibat dari politik yang telah jadi industri. Si fulan mendukung calon X, eh gak taunya yang menang calon / kontestan politik Y. Nah sepanjang si Y menjabat, si fulan itu kerjaannya mengkritisi habis si Y padahal tim kebijakan Bapak/Ibu pejabat Y ini sendiri gak memperhatikan apapun opini-opini si fulan yang misalnya terlalu receh dan sarat kebencian. Ini kan sayang sekali kita menjadi manusia model begini, alih-alih energi kita untuk hal yang lebih bermartabat, akhirnya habis tenaga untuk perkara-perkara yang tidak bisa diubah.

Hal-hal yang tidak bisa diubah artinya “circle of concern”, dikomentari karena diketahui atau dibaca sepintas, sementara hal-hal yang bisa diubah disebut “circle of influence”. Ia bukan hanya difahami tapi dijalani oleh kita, dan kita punya kuasa mengubah karena dalam demarkasi/tupoksi kita sendiri. Jika kita mampu melatih bicara, komentar dan bersikap pada apa-apa yang bisa kita ubah, insyaallah tupoksi kita akan menguat dan melebar, sementara demarkasi (daerah kuasa) kita juga akan meluas, cobalah!