Dunia digital communication terutama media sosial akhir-akhir ini memang mengubah cara berfikir kebanyakan orang, termasuk kalangan bisnis. Kebiasaan netizen yang terlalu gampang menyimpulkan, gampang me-reply tanpa memahami keseluruhan atau gampang berucap tanpa bertanggung-jawab menyebabkan banyak konten-konten yang tersebar di dunia digital umumnya dibuat oleh mereka-mereka yang sebenarnya kurang layak untuk tampil, tapi secara mental “muka badak” atau tingkat kepercayaan diri yang tinggi untuk bertahan.
Satu sisi bagus karena orang-orang begini pada akhinya akan bertahan di jagat maya dan selalu melakukan improvement sesuai netizen yang menyukai mereka (followers/likers) sementara haters selalu ada tapi bisa dimenej agar berbalik menjadi bagian dari komunitas personal brand-nya.
Ada kepuasan batin ketika kita mendapat apresiasi di jagat maya, entah itu sekedar like, celetukan positif atau puja-puji yang sebenarnya tidak muncul dari hati. Jika kita benar-benar faham komunikasi, mengenal sahabat-sahabat terdekat kita biasanya faham kalau teman kita sedang mengangkat kita sekedar agar kita suka dan semangat. Pertanyaan mendasarnya, apakah benar menjadi pebisnis itu harus melulu disukai? diapresiasi? diikuti banyak followers? situ mau jadi artis apa pebisnis?
TIDAK SEMUA BISNIS
Jenis bisnis yang membutuhkan personal brand dengan kemunculan periodik dan eksistensi di media sosial menurut saya hanya beberapa, yang saya geluti hanya seputar jasa konsultansi (digital marketing, branding, strategy, dan beberapa teknik softskill), sementara jenis bisnis lain cara kemunculan kita di media sosial tidak boleh disamakan dengan para influencer medsos yang memang punya skillset sangat terlatih di ranah tersebut. Alih-alih mendapatkan banyak followers, yang ada teman-teman yang ada di jejaring akan unfollow dan males berteman dengan hangat bersama kita di media sosial.
Jika bisnis kita sudah punya impact besar kepada kehidupan sosial, boleh saja melakukan shifting personal brand di media sosial, tetapi baiknya pengelolaannya diatur khusus oleh tim yang khusus pula. Contoh, membuat tokoh publik yang dicitrakan pengusaha sukses, lebih pas dibuat akunnya di facebook fanpages serta Instagram Business Profile atau Creator, ini contoh sederhana. Jangan lantas kebiasaan kita yang berdiskusi private (kurang jaim karena dengan teman-teman dekat) lalu kita seenaknya menjadi tokoh populer yang pembicaraannya terlihat agar menjadi pembicaraan di jagat maya.
TERLIHAT KAYA ATAU KAYA SEBENARNYA?
Beberapa teman yang berbisnis proyek-proyek puluhan dan ratusan milyar, tentu punya jejaring khusus. Entry barrier sosial juga pasti memerlukan “boy toys” yang tidak murah, saya dapat memahami jika ada kawan yang membeli barang-barang branded: sepeda Brompton, Pinarello atau S-Works Specialized, motor harley, triumph sampai hobby modif mobil balap dan nge-track di Sentul. Terkadang ketika kita jadi orang bisnis, akhirnya kita memahami itu satu “kebutuhan” juga karena lingkungan bisnis dan pertemanan bisnis selalu ada entry barrier tertentu.
Apakah pemilik dan penghoby mahal tersebut termasuk orang kaya? tentu kesan yang ingin didapat IYA! tapi jika ditelisik lebih jauh, orang kaya dalam bisnis adalah mereka-mereka yang pandai mengelola asset yang dipunyai dan semakin bertambah setiap waktu. Tak kurang dari Warren Buffet, Bill Gates atau Jeff Bezos misalnya, mereka gak sibuk menambah bling-bling dan hal-hal yg flashy terlihat menyilaukan mata, mereka fokus membangun kerajaan bisnis dan tetap simpel dalam kehidupan pribadinya.
Jika mereka butuh private jet, benar-benar karena meeting antar benua yang kerap terjadi dan membutuhkan kehadiran mereka langsung, tetapi untuk hal-hal pribadi, mereka membeli yang nyaman saja dipakai, bukan yang terlihat wah dan membuat orang lain menelan ludah. Boleh dibilang, orang yang terpengaruh jadi konsumen loyal barang-barang mewah jika itu pengusaha sejati, pasti ada hal lain di balik mengapa mereka membeli produk tsb, entah dia punya saham di perusahaan tsb, entah karena kebutuhan endorse atau barangkali untuk meyakinkan pertemanan di sekelilingnya bahwa level keuangan dia masih baik-baik saja.
Yang kasihan adalah mereka yang bisnisnya baru beranjak besar, tapi gaya-nya sudah selangit. Konten-konten di IG-nya dipaksakan menjadi orang yang high-taste high-end padahal kenyataannya jauh antara bumi dan langit. Kalau sudah begini, menurut saya orang tersebut tidak akan menjadi pengusaha beneran. Paling-paling jadi bumbu-bumbu penyedap dalam pergaulan, gak ada loe gak rame!
IMPRESI DENGAN PENCAPAIAN BISNIS BUKAN CITRA SELEBRITI
Ada banyak CEO – Entrepreneur yang memulai dari profesi artis, profesional di dunia seni entah dia aktor/aktris atau penyanyi/grup band. Mereka merambah menjadi pebisnis dan ingin mengkapitalisasi dari keterkenalan mereka ke publik. Saya perhatikan ada beberapa yang shifting dengan cepat misalnya Daniel Mananta dengan Damn! I Love Indonesia. Beliau fokus membangun bisnisnya step by step, dan mulai menurunkan ritme tampil menjadi DJ atau pembawa acara (MC) di acara-acara, kalau pun dilakukan saya perhatikan dia hanya menjalankan skema “high income skill” yang mungkin dulunya beliau rawat dengan baik, karena bagaimanapun berbicara di publik dalam dunia entertainment juga merupakan revenue stream yang baik.
Hanya saja, beliau tidak seperti artis-artis muda yang mau mendapatkan job-job utama dalam perhelatan entertainment. Awalnya saya lihat Daniel sangat sering manggung atau tampil di televisi, sekarang dia dan label brand yang dia kembangkan yang lebih sering tampil. Perlahan Daniel shifting menjadi benar-benar pengusaha yang berhasil. Salah satu lini produk yang ia kembangkan adalah sepeda dengan desain pattern merah putih yang telah menjadi ciri khas-nya.
Artis sebenarnya aja bisa jadi pengusaha beneran, masa kita-kita yang pengusaha beneran malah tampil bak artis? dilihat dari muka gak ganteng, dilihat dari followers yang follow cuma sekitaran kompleks misalnya. Kenapa harus bertarung di bidang yang kita tidak menjadi tugas kita sih? fokus saja mengembangkan bisnis, bukan malah ngarteesss….!
Leave A Comment