Sudah lama rasanya gak update blog saya ini. Kesibukan luar biasa atau karena malas? entahlah, yang jelas tulisan-tulisan saya tetap seliweran di beragam media sosial, postingan pikiran-pikiran saya di instagram, atau celetukan di grup KBKB juga tetap saya berikan. Hanya memang dalam 2 bulan ini saya hectic, semangat membangun sendi-sendi bisnis yang hampir ambruk karena terkena efek pandemi dari 2019 lalu.
Saking semangatnya saya, sering lupa kesehatan. Kongkow² keseringan, begadang dengan partner bisnis yang asyik sampai pagi dan tentunya dibarengi kopi dan rokok kretek berbungkus-bungkus!
Sampailah satu ketika dalam 4 hari batuk saya gak berhenti padahal sejak 4 hari itu pula saya sudah menghentikan merokok. Saya memang moderat memandang rokok, buat saya rokok bisa saya gandrungi dan tinggalkan segampang membalik telapak tangan, saya bukan anti rokok tapi sama sekali gak ketagihan (gaya gueee gitu lho :D).
Bertemu di hari Ahad tepatnya, 28 Februari 2021, pagi-pagi saya sesak nafas setelah semalaman tidur terganggu. Saya panik, kemudian istri saya mengajak saya segera pergi ke IGD RS (padahal sudah sejak semalam dia mengajak saya tapi saya menolaknya), akhirnya pagi ini saya mengiyakan dengan berat hati. Dengan tanpa mandi terlebih dahulu, membawa persiapan alakadarnya kami berangkatlah ke RS. Fatmawati, saya sendiri yang menyupiri mobil.
Sepanjang perjalanan adalah sesuatu yang menyiksa, karena nafas tersengal-sengal sementara jemari kesemutan gak biasanya, saya mengeluh diselingi batuk gak berhenti. Istri saya tambah panik dan mencoba menenangkan, jarak dari rumah kami di Kukusan Depok ke RS tidak begitu jauh, ini Ahad pagi juga jadi alhamdulillah jalanan gak macet dan tol TB. Simatupang tidak banjir heboh sebagaimana kejadian minggu lalu, thanks God!
Sesampainya di IGD, saya setelah istri saya mengurus dokumen-dokumen saya diperiksa: tekanan darah, saturasi dan suhu. Semua OK-OK aja sih, kemudian mata saya melihat satu poster lawas di dinding ruang rawat darurat tsb:
Wadaw! saya teriak, rupanya semua ciri-ciri saya terkena Covid19 itu ada semua. Saya terkena demam (walau ringan), letih, lesu, batuk (bahkan berdahak), pilek, sakit tenggorokan dan nafas saya terganggu. Mulai panik dan mencoba realistis menghadapinya. Salah gue apa Tuhan!? protes gue, biasalah.. biasalah.. biasalah… namanya juga manusia gak tau untung budi, kata batin gue yang lain lagi..
Berikutnya saya mendapatkan satu spot pembaringan di ruang IGD yang terbuka dengan nurse station persis berada di tengah. Jangan ditanya situasi di sana, udara yang bau obat, keringat dan orang lalu-lalang, teriakan-teriakan pasien kesakitan dan peluang stress lain. Istri saya sangat cekatan dan tenang dalam situasi begini, dia memang bekerja di RS ini 8 tahun, ipar saya juga di bagian farmasi dan Opa sudah “langganan” cuci darah selama 8 bulan di sini. Jadi ada untungnya deh, dia sudah kenal situasinya dan bagaimana melengkapi berkas-beras BPJS dan persyaratan administrasi lainnya dengan waktu yang singkat.
Setelah menunggu beberapa lama, mulai saya diambil diagnosa dan tindakan. Tentunya paling awal adalah akses oksigen agar saya terbantu, infus cairan gula garam (yah mirip2 Pocari Sweat bro sis, karena pabriknya sama yang buat haha), lalu X-Ray thorax untuk mengetahui kondisi paru-paru saya. Sore-nya saya mengetahui kondisi paru-paru saya gak bagus kata istri saya yang mendapatkan informasi dari petugas medisnya (radiologist-nya barangkali). Memang saya punya sejarah buruk tentang paru-paru, waktu kecil saya terkena TBC dan sempat mengalami perawatan berkala sampai disuntik seminggu 3x untuk penyembuhannya. Walau telah sembuh, paru-paru saya memang kurang bagus jadinya, kata seorang dokter “ada bekas-bekas-nya”.
Kondisi sekarang ini saya terkena infeksi saluran pernafasan, entah di mana-nya makanya saya butuh diberi antibiotik. Problem gak sampai di sini saja, obat antibiotik yang di-inject ke saluran infus itu menimbulkan gatal-gatal di badan, si petugas lalu menghentikan obat tsb dan menyiapkan prosedur pengganti dicari jenis antibiotik yang saya menjadi alergen bagi tubuh saya, saya memang pernah ada alergi obat: entah amoxan atau amoxicilin deh, gue lupa haha..
Qadarullah, saya ditetapkan harus dirawat karena cek darah menunjukkan saya reaktif setelah test rapid anti gen. Dibawalah saya ke ruang rawat VIP Anggrek kamar 211. Didorong oleh 2 perawat perempuan dan istri saya mendorong pria yang cukup berat karena gemuk, ganteng dan malang ini xixixi..
WoW! asyik banget dapat ruang rawat VIP, walau tanpa TV tapi ruangannya adem, enak, ada nurse call, saluran oksigen dilengkapi dengan Paramount Bed electric favorit saya xixixi (norak!).
Nanti saya lanjut lagi ceritanya ya…
Bersambung…
Leave A Comment