Karena dalam beberapa tahun saya menekuni hobby bermotor ria, mengenang masa kecil saat ayahanda menyusuri kebun karet di pedalaman kalbar, saya jadi tertarik juga ikutan membahas motor dari sisi industrinya.

Kalau dari teknis, sudah banyak yang bahas, saya gak banyak faham soal ini

Apalagi sisi fun to drive atau keseruan mengendarai, enakan dilakuin daripada diomongin!

Sisi bisnis! ini yang mau saya bahas, karena menarik melihat “perubahan” Honda motor (untuk membedakan dengan Honda roda empat ya) setelah mereka pernah sekali dua kali kalah dalam bersaing di market sepeda motor tanah air. Kalahnya gak seberapa sih, “cuma” satu waktu oleh motor matic Yamaha: Mio dan teman-temannya itu.

Hanya sekali kalah, gak main-main manajemen Honda bersikap, jajaran direksi langsung diubah, tegas! Mereka menyadari sebagai pemenang market share harus banyak-banyak sadar diri dan aware, jangan sampai tidur keenakan di singgasana sang raja. Jika mereka abai pada “Big Data” behavior dan trend industri motor tanah air, mereka akan tersalip lagi dan lagi..

SADAR DIRI KEADAAN JALAN DI INDONESIA

Kesadaran pertama yang terjadi pada Honda motor Indonesia adalah kesadaran mereka berada di Indonesia. Penduduknya banyak, ada 3,6 juta motor baru di tahun 2020 dan 4,6 juta di tahun 2021. Ini pasar yang sangat menggiurkan dibanding negara-negara tetangga. Jalanan di kota-kota besar yang penuh kemacetan dan belum tertatanya perumahan-perumahan sehingga menimbulkan banyak jalan dan gang-gang kecil menyebabkan penduduk di Indonesia merasa wajib punya motor walaupun sudah punya kendaraan R4.

Gang sempit karena parkir sembarangan

SADAR DIRI NIECHE MARKET DI INDONESIA

Honda motor juga saya perhatikan memahami anomali market Indonesia. Satu sisi mereka sadar bahwa range harga yang paling laku adalah motor di harga di bawah 20 jt (untuk tahun-tahun sekarang, dan di bawah 15 jt untuk 5th ke belakang), di sisi lain mereka juga gak ragu membawa motor-motor mahal Completely Built Up yang harganya kadang lebih mahal dari harga mobil. Nieche market yang sulit disentuh oleh organisasi bisnis sebesar mereka, disentuh dengan menggaet banyak influencer yang akhir-akhir ini bermunculan memenuhi jagat youtube.

Contoh saja misalnya, Honda Monkey

Honda Monkey

Motor seharga 70 jutaan ini jelas bukan motor murah. Ukurannya yang mini, lebih kelihatan kayak motor mainan. Fitur-fitur dan teknologi yang dijejalkan ke dalamnya memang bukan mainan dan becanda, secara teknis, ini motor serius, tapi pasti pembelinya pasti punya motor pertama (minimal) baru mau beli motor ini hehehe.. Honda tetap menggarap market unik seperti ini walau permintaannya pasti gak banyak.

SADAR DIRI TREND ALA-ALA MARKET DI INDONESIA

Nah ini dia, fenomena “hybrid” atau setengah-setengah, atau “ala-ala” ini menggejala. Di bisnis resto disebut “fusion” atau campuran.  Market pemotor di Indonesia banyak yang menjadikan motor sebagai kendaraan utama, berbeda misalnya dengan Malaysia, di mana di sana jalanan lebar-lebar, penduduk jarang dan terdistribusi dengan baik karena perumahan juga ditata apik. Mereka memilih mobil murah (proyek Proton dan Fero 2) dibanding motor. Di kita, orang cenderung punya motor dulu sebelum terbeli mobil, walaupun sudah ada LCGC.

Kita perhatikan “kebutuhan” atau “trend” motor adventure atau touring. Daya beli masyarakat secara umum yang rendah yaitu lebih menyasar pada pangsa pasar motor di bawah 20 juta, tidak mengurangi peminat motor petualang. Yaitu jenis motor dengan kapasitas tangki cukup besar, posisi duduk yang santai dengan suspensi empuk dan tarikan bawah yang responsif. Biasanya ukuran mendekati ideal hanya akan dipenuhi oleh motor-motor dengan budget di atas 150 juta. Jika di kisaran 50-100 juta, sulit mendapatkan yang maksimal.

Tapi kemudian Honda menciptakan CB150X seharga 30 jutaan, ini motor jelas sangat jauh dari kebutuhan adventure sebenarnya. CC kecil begitu tentu akan membuat “kesal” tourer. Tapi Honda pasti memiliki data bahwa selain soal sensitivitas harga, pemilik motor di kita biasanya akan menggunakan motornya bukan hanya untuk satu keperluan, bila perlu bisa dipakai kerja senin – jumat, pergi pagi pulang petang, berjibaku dengan kemacetan jika di kota besar dan mampu menerabas medan ala-ala off road jika si CB ini dimiliki orang di sub-urban.

Honda CB 150 X, foto by Wong Prako

Honda CB 150 X, foto by Wong Prako

 

SADAR DIRI GAK BISA SENDIRIAN

New Ekonomi yang terjadi sekarang ini membutuhkan kolaborasi bersama. Munculnya media sosial menyebabkan arah komunikasi sekarang berubah. Ia muncul dari berbagai arah, diangkat oleh para seleb medsos / influencer dengan ciri unik dan menarik. Untuk itu jika Honda membuat produk yang juga melahirkan industri turunan yang dikerjakan UMKM di hilirnya, maka produk tersebut tentu akan ikut terkerek dan terdorong lebih besar lagi penjualannya.

Beberapa contoh industri ikutan ketika Honda membuat CB150X misalnya, pasarnya ikut dinikmati oleh pelaku aksesoris baik brand lokal maupun global.

Begitulah pengamatan sekilas saya mengenai brand Honda menyiasati iklim persaingan dan trend market pemotor tanah air, pantesan saja mereka tetap merajai hampir semua pangsa pasar sepeda motor yang ada.